Tafsir Ayat Ahkam; Surah Al Fatihah
Berikut adalah terjemahan bebas tentang surah Al Fatihah yang terdapat dalam kitab Tafsir Ayat Ahkam karya Syeikh Ali Ash Shabuny.
تفسير الآيات : (1- 7(
}بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ
يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7 {(
1.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
2.
Segala puji bagi Allah, rabb seluruh alam
3.
Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
4.
Pemilik hari pembalasan
5.
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan
6.
Tunjukilah kami jalan yang lurus
7.
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
URAIAN LAFAZH:
Kata, الْحَمْدُ لِلّٰهِ
: adalah pujian yang indah untuk mengagungkan dan memuliakan.
Al Qurthubi;
Ucapan الْحَمْدُ
لِلّٰهِ dalam komunikasi bangsa Arab berarti pujian yang sempurna.
Adapun penggunaan (ال) dalam kata tersebut berfungsi untuk
melampaui berbagai jenis pujian. Bahwa Allah SWT memiliki segala macam pujian
secara mutlak. Ia adalah lawan kata ‘celaan’ dan lebih universal dari rasa
syukur. Karena kata syukur hanya digunakan ketika telah mendapat suatu nikmat,
sedangkan الْحَمْدُ
لِلّٰهِ lebih dari itu. Suatu
contoh:
“Seorang lelaki dipuji karena keberanian dan ilmunya.”
Bandingkan dengan; “Saya sangat berterima kasih atas kebaikan yang telah
dilakukannya pada kami.”
Dengan
demikian, jelas; Pujian dilakukan dengan lisan saja, sedangkan syukur (terima
kasih) dilakukan dengan lisan, hati, dan anggota badan sekaligus.
At Thobari
menyatakan bahwa pujian dan syukur adalah satu kesatuan.
Kata, الْعَالَمِيْنَ رَبِّ : Kata, ‘Rabb’ secara linguistik adalah bentuk gerund (isim mashdar) yang bermakna, ‘Tarbiyah’ (pendidikan, pengayoman, pemeliharaan). Ia selalu berorientasi pada upaya memperbaiki urusan orang lain dan memeliharanya.
الرَّبُّ
: Berasal dari kata, ‘Tarbiyah’, yang berarti Allah SWT mengatur kehidupan para
hamba-Nya dan memeliharanya.
Kata ini
juga memiliki beberapa makna; “Penguasa, yang memperbaiki, yang disembah, tuan
yang ditaati, dan banyak lagi makna lainnya.” Dalam hadits yang diriwayatkan
Syaikhon disinyalir; “Tidaklah salah seorang di antara kalian mengatakan; Beri
makan Tuhanmu, bersihkan Tuhanmu, tidak pula mengatakan Robbi. Tapi katakanlah;
Junjunganku dan Pelindungku (Sayyidi wa Maulaaya).”
الْعَالَمِيْنَ
: Isim Jama’dari الْعَالَمُِ : adalah nama alam (benda) yang
konotasinya tidak hanya satu jenis benda saja.
Abu Sa’ud; الْعَالَمُِ
adalah nama alam yang sudah dikenal dan Allah SWT mengetahui segala apa yang
terjadi padanya.
Ibn Jauzi; الْعَالَمُِ
di kalangan bangsa Arab adalah nama dari makhluk yang tumbuh dari awal dan
berkembang hingga pertumbuhannya berakhir. Adapun dalam pandangan para peneliti
(Ahlun Nazhar); Ia adalah nama yang dinisbatkan kepada seluruh jagad raya yang mencakup langit,
bumi, gugusan galaksi, dan seluruh makhluk hidup yang ada di dalamnya.
Yang pasti,
adanya alam semesta ini menunjukkan adanya Sang Maha Pencipta.
Ibn Abbas; رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
adalah Pemelihara kalangan manusia, jin, malaikat.
Al Farra’
dan Abu Ubaidah; الْعَالَمُ adalah kata yang digunakan untuk makhluk
yang berakal, seperti manusia, malaikat, jin, dan syetan. Tidak patut untuk
binatang.
Sebagian
Ulama; Ia adalah kata yang dinisbatkan pada seluruh jenis makhluk hidup, baik
manusia, jin, malaikat, burung, tumbuhan, benda-benda mati, dan lain
sebagainya. Jadi kata; رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
mencakup seluruh jenis makhluk di atas.
الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ : Dua nama di antara sekian banyak nama
Allah SWT, berasal dari akar kata الرَّحْمٰةُ . الرَّحْمٰنِ
; Pemberi nikmat dengan segala kemuliaan yang meliputinya. Sedangkan الرَّحِيْمِ
; Pemberi nikmat dengan segala kelembutan dan kasih sayang yang meliputinya.
Al Khottobi;
الرَّحْمٰنِ
; Maha Memiliki rahmat komprehensif yang
meliputi seluruh makhluk, termasuk di dalamnya rizki maupun kemaslahatan
makhluk-Nya. Baik yang mukmin maupun
kafir.
Sedangkan, الرَّحِيْمِ
khusus diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, sesuai firman-Nya (Al
Ahzab 43); وَكَانَ
بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا
Kata, الرَّحْمٰنِ adalah sifat yang hanya boleh dinisbatkan
untuk Allah SWT, tidak untuk makhluk-Nya. Berbeda dengan kata, لرَّحِيْمِ
yang boleh dinisbatkan kepada para makhluk, seperti disinyalir at Taubah 128; بِالْمؤْمِنِيْنَ
رَؤُوْفٌ رَحِيْمُ
Al
Qurthubi berkata; Para Ulama sepakat, bahwa kata, الرَّحْمٰنِ
hanya khusus untuk Allah. Coba perhatikan al Isra 110; ﴿قُل اُدْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ﴾
Sejalan
dengan ayat ini ditegaskan Allah, bahwa yang berhak disembah adalah Yang Maha
Rahman. Perhatikan ayat 45 az Zukhruf; ﴿أَجَعَلْنَا مِنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِ آلِهَةً
يُعْبَدُوْنَ﴾ Musailamah al Kadzdzab
(la’anahullah) pernah berani menyematkan nama atas dirinya, {رَحْمَانُ
اليَمَامَةِ}. Lalu Allah membuat setiap orang yang
mendengarnya, menjulukinya dengan sifat al Kadzdzab.
يَوْمُ الدِّيْنِ
; Hari pembalasan dan perhitungan. Pada hari itu, Allah SWT menjadi Penguasa
atas semua perhitungan dan pembalasan yang dilaksanakan. Kata, الدِّيْنُ
secara linguistik; Balasan. Allah berfirman (as Shoffat 53; أَإِنَّا
لَمَدِيْنُوْنَ
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ : نَعْبُدُ ;
Kami merendahkan dan menundukkan diri. Makna العُبُوْدِيَّةُ
; Menundukkan diri dan meminta pertolongan.
Az
Zamakhsyari; Ibadah adalah puncak dari ketundukan. Ketundukan semacam ini hanya
patut untuk Allah SWT, selaku Pemberi segala nikmat.
وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِيْنُ : Kata, الإِسْتِعَانَةُ;
Meminta pertolongan. Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas
ra;
إِذَا سَأَلْتَ
فاسأَلِ اللهَ, وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Jika engkau
meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika ingin meminta pertolongan, minta
tolonglah kepada Allah.”
إِهْدِنَا
: Tunjuki kami ke jalan lurus. Bimbing kami ke arahnya dan perlihatkan kepada
kami jalan hidayah yang dapat mendekatkan kami kepada-Mu.
Kata, الهِدَايَةُ
; Kadang bisa berarti; Petunjuk {الدَّلاَلَةُ}.
Seperti firman Allah ayat 17 Fusshilat:
فَأَمَّا
ثَمُوْدُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوْا الْعَمَىٰ عَلَى الْهُدَى
“Adapun kaum
Tsamud, Kami beri mereka petunjuk, namun mereka lebih memilih kesesatan
daripada petunjuk.”
Kadang bisa
berarti kesadaran, keinsyafan {الإِرْشَادُ},
dan ketetapan iman. Seperti al Qashash
56;
إِنَّكَ
لاَ تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللهَ يَهْدِى مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau tidak dapat menyadarkan orang engkau cintai, akan
tetapi Allah menyadarkan siapa saja yang Dia kehendaki.”
Adapun Rasul
hanya berfungsi sebagai ‘penunjuk’ ke jalan Allah;
وَإِنَّكَ لَتَهْدِى إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
namun tidak
dapat memasukkan keimanan ke dalam hati manusia.
الصراط المستقيم
: menurut Al Jauhari; الصراط = السِّرَاطُ = الزَّرَّاطُ
; Jalan. Orang Arab selalu menggunakan kata ini untuk menunjukkan lurus atau
tidaknya suatu ucapan, pekerjaan atau sifat seseorang. Artinya syar’inya adalah
Agama Islam.
المستقيم
: Jalan yang tidak bengkok dan tidak menyimpang. Sesuai firman Allah, al An’am
153;
﴿وَأَنَّ هٰذَا صِرَاطِى مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوْهُ﴾
أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ : النعمة ; Kesenangan dan kenikmatan hidup.
Ibn Abbas;
Mereka adalah golongan para nabi, orang-orang yang benar imannya (as
Shiddiiquun), para syuhada, dan orang-orang sholih. Para Jumhur Ulama
sependapat dengan pendapat ini. Sesuai firman Allah, an Nisa 69;
﴿وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ
اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ
وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيْقًا﴾
الـمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
: Mereka adalah orang-orang Yahudi. Al Baqarah 61:
﴿وَبَاؤُوْا بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ﴾
(Al
Maidah 60);
﴿مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ
مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيْرَ﴾
الضَّآلِّيْنَ
: Melenceng dari tujuan, hingga kebenaran menjadi lenyap, seperti disinyalir
ayat 10 as Sajdah; وَقَالُوْا إِذَا ضَلَلْنَا فِى الأَرْضِ
Yang
dimaksud dengan kata ini adalah orang-orang Nashrani. Seperti disinyalir ayat
77 al Maidah;
قَدْ ضَلُّوْا
مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ
Sebagian Ahli Tafsir; Yang dimaksud dengan ﴿المغضوب عليهم﴾
; orang-orang yang melakukan kesalahan dalam amalan-amalan
zhahir (mereka adalah orang-orang fasiq). ﴿الضالون﴾ ;
orang-orang yang salah dalam keyakinan (I’tiqod). Orang yang ingkar terhadap
Sang Pencipta dan orang-orang musyrik, keyakinannya lebih rendah daripada
orang-orang Yahudi dan Nashrani. Pendapat ini menjadi pilihan Imam Fakhrurrozi.
Namun
pendapat ini dibantah oleh al Alwasy. Menurutnya, penafsiran dua kata di atas
adalah orang Yahudi dan Nashrani, seperti disinyalir oleh hadits yang shahih.
Al Qurthubi;
Jumhur Mufassirin sepakat bahwa yang dimaksud dengan ﴿المغضوب عليهم﴾ adalah
orang Yahudi, sedangkan ﴿الضالون﴾ adalah orang Nashrani.
Pendapat ini didasarkan pada penafsiran hadits Nabi tentang sahabat ‘Adi ibn Hatim dan kisah keislamannya.
Saya katakan;
Yang dikemukakan Imam Fakhrurrozi tidak dimaksudkan untuk menyalahi hadits
shahih. Namun beliau hanya mengeneralisir hukum, sehingga orang-orang Yahudi,
Nashrani, dan orang-orang yang menyimpang dari syariat agama Allah SWT, seperti
orang-orang munafiq dan kafir tercakup dalam makna ayat di atas. Berikut adalah
pendapat beliau; Yang termasuk dalam kategori (المغضوب عليهم)
adalah orang-orang kafir. Sedangkan (الضالون)
adalah orang munafiq. Hal itu terlihat saat Allah memaparkan ciri-ciri orang
beriman dalam 5 ayat pertama al Baqarah, kemudian diikuti dengan ciri orang
kafir, kemudian ciri orang munafiq.Dengan demikian, dalam al Fatihah Allah
menyebut orang beriman dengan ayat (أَنْعَمْتَ عَلَيْهِ
), kemudian diikuti dengan orang-orang kafir (غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ),
dilanjutkan dengan orang-orang munafiq (وَلاَالضَّآلِّيْنَ).”
آمِيْن:
Sebuah kalimat yang menurut Ijma’ Ulama tidak tertulis dalam mushaf a Qur’an
Kariem. Ia memiliki makna; Kabulkanlah doa kami, ya Rabb.
Al Alwasy;
Disunnahkan untuk membaca kalimat ini setiap kali selesai membaca Fatihah,
berdasarkan hadits Abi Maisarah;
أَنَّ جِبْرِيْلَ
أَقْرَأَ النَّبِيَّ صلعم فَاتِحَةَ الْكِتَابِ, فَلَمَّا قَالَ: ﴿وَلاَالضَّآلِّيْنَ﴾
قَالَ لَهُ: قُلْ: آمِيْن فقال: آمِيْن (روح المعاني للألواسي)
Ibn An
Anbari; Kata آمِيْن adalah doa, bukan bagian dari al Qur’an.
Ia adalah salah satu isim dari Isim Fa’il yang berarti; Ya Allah, kabulkanlah.
Ia memiliki dua versi; {أَمِيْن} berwazan pada {فَعِيْل} {آمِيْن}
berwazan pada {فَاعِل}
MAKNA
FATIHAH DALAM KITAB “FII
ZHILAALIL QURÁN”
Sayyid Quthb berkata dalam kitabnya, “Fii Zhilaalil
Qur’an”;
Ayat pendek
yang terdiri dari 7 ayat ini paling tidak dibaca oleh seorang muslim 17 X
sehari semalam. Bahkan lebih banyak, jika ia suka melakukan shalat sunnah atau
membacanya di lain waktu-waktu shalat saat ingin merasa lebih dekat kepada
Rabbnya. Selain itu, shalat tidak sah tanpa membaca surat ini, sesuai dengan
hadits yang diriwayatkah oleh Bukhari - Muslim;
لاَ صَلاَةَ
لِمَنْ لَمْ يُقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Dalam surat
ini tercakup seluruh unsur Aqidah Islamiyah, perilaku akhlak Islamy, dan
berbagai perasaan yang mengacu pada penghambaan. Karena alasan inilah surat al
Fatihah dipilih Allah untuk dibaca di
setiap rakaat shalat yang ditegakkan.
Surat ini dimulai dengan ( بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ
) Para Ulama Tafsir sepakat bahwa memulai suatu perbuatan dengan bacaan ini
merupakan etika yang diajarkan Allah SWT kepada Rasulullah saat menurunkan
wahyu pertama; (إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ)
Kemudian dilanjutkan dengan pengulangan dua sifat-Nya; ( الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ ) untuk menggambarkan hubungan antara sang
Khaliq dengan hamba-Nya. Dengan demikian, Aqidah Islamiyah yang sempurna selalu
muncul sebagai rahmat yang hakiki bagi hati dan pikiran.
Dilanjutkan kemudian dengan, ( الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ ) yang di dalamnya tercakup seluruh makna
kasih sayang. Pengulangan kalimat ini adalah untuk menegaskan hakikat Tauhid
Rububiyah yang sempurna dan komprehensif.
Ayat; ( مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
) menggambarkan adanya rasa percaya yang komprehensif terhadap Akhirat. Bahkan
kehidupan manusia tidak akan pernah mencapai manhaj Allah yang tinggi, selama
akidah ini belum disempurnakan.
Ayat; ( إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِيْنُ ) memberi gambaran, bahwa tidak ada yang
patut disembah dan dimintai pertolongan selain Allah. Manusia diperintahkan
untuk selalu mensyukuri setiap pencapaian yang diraih dalam kehidupannya. Perlu
dicatat bahwa pencapaian itu terjadi bukan karena kemampuan yang dimilikinya,
namun karena Allah telah menundukkannya. (وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِى الأَرْضِ
جَمِيْعًا)
Setelah asas-asas akidah dikemukakan, barulah
dijelaskan bentuk amaliahnya; (إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ,
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ)
Mengenal Allah dan sikap istiqomah dalam penghambaan merupakan buah dari
keyakinan dan kepercayaan. Hidayah merupakan hal paling tinggi yang diminta
oleh manusia dari Tuhannya. Ia adalah fitrah manusia untuk menuju kepada syariat-Nya,
yang bermuara pada jalan orang-orang yang berbahagia di surga.
LATHO-IF TAFSIR:
1.Allah
memerintahkan untuk membaca Ta’awwudz ketika akan membaca al Qur’an
( فَإِذَا قَرَأتَ الْقُرآنَ
فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ ﴾ ( النحل ٩٨)
Jakfar
Shadiq; Membaca Ta’awwudz merupakan keharusan saat akan membaca al Qur’an,
namun tidak demikian untuk amalan ketaatan lainnya. Hikmahnya adalah lisan
manusia cenderung dikotori dengan perkataan dusta, ghibah, atau mengadu-adu.
Karena itu Allah memerintahkan untuk mensucikan lisannya dengan Ta’awwudz
ketika hendak membaca kalam-Nya.
2. Di kalangan
Ahli Bahasa, kata ‘Basmalah’ adalah ucapan
( بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ )
Pembukaan al
Qur’an yang dimulai dengan ayat tersebut, merupakan isyarat bagi kita untuk
juga memulai semua aktifitas dan ucapan kita dengannya. Nabi menegaskan dalam
hadits yang diriwayatkan Abu Daud;
كُلُّ أَمْرٍ
ذِى بَالٍ لاَ يَبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ فَهُوَ أَبْتَرُ
Jika ada
yang bertanya; Kenapa harus mengucapkan بِسْمِ اللهِ
, bukan, بِاللهِ ?
Kita jawab;
Seperti yang dikatakan oleh al ‘Allamah Abu Sa’ud; Penyertaan kata ‘الإِسْمُ’
menunjukkan keinginan untuk mendapat
keberkahan. Permohonan itu harus disertai dengan mengingat nama-Nya.
3. Apa
perbedaan antara lafazh {الله} dan {الإلٰه}?.
Kata pertama, {الله} adalah Isim ‘Alam (nama diri) yang hanya
dinisbatkan untuk Dzat Yang Maha Suci, artinya yang disembah secara haq.
Sedangkan kata kedua, {الإلٰه} bisa dinisbatkan kepada Allah atau benda-benda
lainnya. Ia berasal dari akar kata {أَلَهَ}
; yang disembah, baik dengan haq atau tidak. Berhala yang disembah kaum
musyrikin Arab Jahiliyah disebut dengan, {آلِهَةٌ}
kata jama’ dari {إِلٰهٌ} yang disembah dengan cara bathil. Tidak
ada seorang pun di antara mereka yang menamai berhala dengan kata, {الله}.
Jika mereka ditanya; “Siapakah pencipta langit dan bumi?.” Mereka akan
menjawab; “Allah.” (وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَالأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللهَ) (Luqman 25)
4. Dalam ucapan
kita; ( بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ ) terdapat berbagai faidah mulia. Di
antaranya; memohon keberkahan dengan nama Allah SWT, pemuliaan terhadap-Nya,
terhindar dari syetan, ketenteraman ketika dirundung rasa takut, dlsb. Yang
pasti di dalamnya terdapat 2 nama yang hanya khusus untuk-Nya; Allah dan ar
Rahman.
5. Huruf Alif
dan Lam dalam ayat (الحمد);
Tidak ada yang memiliki pujian sempurna kecuali Allah SWT. Dengan demikian,
kata (الحمد لله)
memberikan isyarat bahwa pujian yang dimaksud adalah pujian yang
berkesinambungan dan abadi.
6. Adapun
disebutkannya lafazh, (الرحمن الرحيم)
setelah (رَبِّ العَالَمِيْن)
karena kata {رَب} identik dengan makna kesombongan,
kekuasaan, keperkasaan yang memiliki konotasi ditakuti. Oleh karena itu
ditegaskan dengan (الرحمن الرحيم) bahwa Rabb ini memiliki kasih sayang yang
meliputi segala sesuatu.
Ibn Hayyan;
Allah menyifati diri-Nya dengan ‘Rabb’ untuk menegaskan ke-Maha-an-Nya yang
selaras dengan sifat kasih dan sayang-Nya.
Ibn Qoyyim;
Penggandengan dua sifat, (الرحمن الرحيم)
memiliki makna yang indah. (الرحمن) menunjukkan pada sifat diri-Nya,
sedangkan (الرحيم)
menunjukkan keterkaitan diri-Nya dengan para makhluk. Atau dengan kata lain,
yang pertama berkenaan dengan sifat-Nya, yang kedua berkenaan dengan
perbuatan-Nya.
(وَكَانَ
بِالمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا) Al Ahzab 43 (إِنَّهُ بِهِمْ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ)
At Taubah 117.
7. Ada 2 lafazh
jama’ yang digunakan Allah dalam al Fatihah; ﴿نَعْبُدُ - نَسْتَعِيْنُ﴾ Menunjukkan
ketidakberanian dan ketidakpantasan kita untuk berdoa seorang diri kepada
Allah. Karena itu didalamnya tersirat kata, ‘bersama orang-orang yang
mentauhidkan Engkau.”
8. Menisbatkan
nikmat hanya kepada Allah SWT; ﴿ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ﴾ Seperti
firman Allah lewat lisan Ibrahim as;
(الَّذِى خَلَقَنِى فَهُوَ يَهْدِيْنِِ وَالَّذِى هُوَ يُطْعِمُنِى
وَيَسْقِيْنِ وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ)
As Syu’ara 78-80
Baca juga: Pembagian Fi'il (kata kerja) Berdasarkan Waktu; Terjemah Kitab An Nahwul Wadhih
HUKUM-HUKUM SYARI’AT:
1. Apakah
Basmalah salah satu ayat dari al Qur’an?
Para Ulama
Tafsir sepakat bahwa Basmalah yang disinyalir dalam surat an Naml 30 adalah
bagian dari ayat al Qur’an. (إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ) Mereka berbeda pendapat, apakah ia
merupakan bagian dari surat al Fatihah dan merupakan awal dari tiap surat atau
tidak?
Madzhab Syafi’i; Ia adalah bagian dari surat Fatihah
dan merupakan bagian ayat dari setiap surat.
Dalil
Madzhab Syafi’iyah;
I. Hadits Abu Hurairah dari Nabi saw;
إِِذَا قَرَأْتُمُ
الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ,
إِنَّهَا أُمُّ الْقُرآنِ, وَ أُمُّ الْكِتَابِ, وَالسَّبْعُ الْمَثَانِى, وَبِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَحَدُ آيَاتِهَا
“Jika kalian
membaca ‘Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin, bacalah; ‘Bismillahirrahmanirrahim’.
Ia adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, as Sab’ul Matsani, dan
Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu ayat darinya.” (HR Daru Quthni
dari hadits Abdil Hamid ibn Jakfar dari
Nuh ibn Abi Bilal dari Sa’id ibn Sa’id al Maqbari dari Abi Hurairah ra)
II. Hadits Ibn
Abbas ra bahwa Rasulullah saw membuka bacaan sholat dengan بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
III. Hadits Anas ra bahwa ia ditanya tentang bacaan
Rasulullah saw. Ia menjawab;”Bacaan yang beliau baca panjang. Kemudian beliau
membaca;
(بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ﴿١﴾ الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ﴿٢﴾ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ﴿٤ (Hadits dikeluarkan oleh Bukhari dari Anas,
menurut ad Daaru Quthni;Isnadnya shahih)
IV. Hadits Anas,bahwa ia berkata; “Suatu hari
Rasulullah saw berada di tengah-tengah kami. Beliau terlihat sedang
terkantuk-kantuk, kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Maka
kami bertanya; “Apa yang membuat engkau tersenyum ya Rasulullah?.”Beliau
menjawab; “Baru saja turun kepadaku satu surat;
(بِسْم الله
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ * إِنَّا أَعْطَيْنَٰكَ الْكَوْثَرَ* فَصَلِّ لِرَبِّكَ وًانْحَرْ
* إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ)
(HR Muslim,
Nasa-I, Turmudzi, Ibn Majah. Turmudzi mengatakan, hadits ini hasan shahih.
Kelanjutan hadits ini; “Tahukah kalian, apakah al Kautsar itu?.”Para sahabat
menjawab; “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda; “Ia adalah
nama sebuah sungai yang dijanjikan Tuhanku kepadaku. Ia adalah mata air yang
diperuntukkan untuk ummatku pada hari Kiamat…dst)
Mereka
berkata; Hadits ini menunjukkan bahwa Basmalah merupakan bagian dari setiap
surat al Qur’an.
V. Mereka juga menggunakan dalil logika sebagai
pedoaman. Mengingat seluruh kitab Al Qur’an yang diterbitkan di berbagai
negara, di tiap suratnya selalu dimulai dengan; Bismillahirrahmanirrahim,
kecuali surat Bara-ah (at Taubah).
Madzhab Maliki; Basmalah bukanlah bagian dari surat al
Fatihah dan tidak pula surat-surat yang lain.
Dalil
Madzhab Maliki;
I. Hadits
Aisyah ra yang berkata;
كَانَ رَسُولُ
الله صلعم يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالقِرَاءَةِ بِالحَمْدُ لِلَّهِ
رَبّ الْعَالَمِيْنَ
“Rasulullah
saw membuka shalat dengan takbir dan bacaan; Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin.”
(HR Muslim)
II Hadits Anas
yang diriwayatkan dalam kitab as Shohihain, ia berkata;
صَلَّيْتُ
خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صلعم وأَبِي بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَانَ, فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ
الصَّلاَةَ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Saya
(pernah) shalat dibelakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Utsman, dan Ali, mereka
memulai shalat dengan; ‘Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin.”
Dan dalam
riwayat Muslim;
لاَ يَذْكُرُوْنَ
(بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ) لاَ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِى آخِرِهَا
“Tidak
menyebut (Basmalah) pada awal bacaan maupun di akhirnya.” (HR Bukhari Muslim
dari Anas ra)
III. Dalil yang
menunjukkan bahwa Basmalah bukanlah bagian dari al Fatihah adalah hadits Abu
Hurairah; “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda;
قَالَ الله
عَزَّ وَجَلَّ: قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِى
مَاسَأَلَ. فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الحَمْدُ لِلَّه رَبِّ العَالَمِيْنَ، قَالَ اللهُ
تَعَالَى: حَمِدَنِى عَبْدِى، وَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قَالَ
اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى، وَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: مَالِكِ يَوْمِ
الدِّيْنِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: مَجَّدَنِى عَبْدِى – وَقَالَ مَرَّةً: فَوَّضَ إِلَيَّ
عَبْدِى – فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ، قَالَ: هَذَا
بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى، وَلِعَبْدِى مَاسَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: إِهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
وَلاَ الضَّآلِّيْنَ، قَالَ: هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَاسَأَلَ.
“Allah Azza
wa Jalla berfirman; “Aku membagi sholat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua
bagian, dan untuk hamba-Ku apa yang dia pinta. Jika seorang hamba membaca;
“Alhamdulillaahi Robbil ‘aalamiin,” Allah berfirman; “Hamba-Ku telah
memuji-Ku.” Jika seorang hamba membaca; “Ar Rohmaanirrahiim,” Allah berfirman;
“Hamba-Ku telah mengagungkan Aku.” Jika ia membaca; “Maaliki yaumiddiin,” Allah
berfirman; “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.” –Ia berfirman sekali lagi; “Hamba-Ku
telah menyerahkan jiwanya kepada-Ku- Jika seorang hamba “membaca; “Iyyaaka
na’budu wa iyyaaka nasta’iin,” Allah berfirman; “Ini antara Aku dan hamba-Ku,
untuknya apa yang dia pinta.” Jika ia membaca; “Ihdinashshirootol mustaqiim,
shirootolladziina an’amta ‘alaihim ghoril maghdhuubi ‘alaihim waladhdhoolliiin,”
Allah berfirman; “Ini untuk hamba-Ku dan baginya apa dia pinta.” (HR Muslim
dari hadits Sufyan ibn ‘Uyainah dari al ‘Ula’ ibn Abdirrahman dari Abi
Hurairah).
Mereka
berkata; “Yang dimaksud dengan, {قَسَمْتُ الصَّلاَةَ
} dalam hadits Qudsi di atas adalah sholat, karena sholat tidak sah jika di
dalamnya tidak dibaca al Fatihah. Kalau Basmalah merupakan bagian dari al
Fatihah, tentu Allah akan menyebutkan di dalamnya.”
IV. Jika Basmalah bagian dari al Fatihah, tentu di
dalamnya terdapat pengulangan dalam kalimat, (الرحمن الرحٍيم)
V. Penulisannya di setiap awal surat hanya dimaksudkan
untuk Tabarruk (meminta keberkahan)
Al Qurthubi:
“Pendapat yang shahih adalah pendapat Maliki. Karena al Qur’an tidak bisa
ditetapkan hanya dengan hadits Ahad, namun yang lebih layak ditetapkan dengan
hadits Mutawatir.”
Ibn Araby;
“Dari sini terjawab sudah perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan
masyarakat, bahwa Basmalah bukanlah bagian dari surat al Fatihah dan
surat-surat lainnya kecuali dalam surat an Naml.”
Lebih lanjut
ia mengatakan; “Di masjid Nabawi sejak masa Rasulullah saw sampai Imam Malik,
ketika surat al Fatihah dibaca, tidak pernah dimulai dengan Basmalah.”
Madzhab Abu Hanifah
(Hanafi); Basmalah adalah bagian ayat al Qur’an yang sempurna, diturunkan untuk
mejadi pemisah antar surat. Ia bukanlah bagian dari al Fatihah.
Dalil
Madzhab Abu Hanifah;
Madzhab ini memandang Basmalah sebagai bagian dari ayat al Qur’an, namun
bukan bagian dari setiap surat, kecuali surat an Naml. Beberapa hadits yang
menerangkan tidak dibacanya Basmalah secara jahr bersama al Fatihah,
menunjukkan bahwa ia bukanlah bagian dari al Fatihah.
Dalil yang
memperkuat Madzhab mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat
bahwa mereka berkata; “Kami tidak mengetahui berakhirnya sebuah surat (ketika
dibaca), hingga turun ayat, ( بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ).”
(HR Abu Daud)
Demikian
pula yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra;
(أّنَّ رَسُولَ
اللهِ صلعم كَانَ لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ ( بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ
“Bahwa
Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah antara surat, hingga diturunkan ayat,
‘Bismillahirrahmanirrahim.’ (HR Hakim dalam kitab al Mustadrak dan Abu Daud
dari Ibn Abbas dengan isnad shahih)
Imam Abu
Bakar ar Rozi (Imam yang kesohor dengan julukan ‘al Jashshosh’, Ahli Tafsir
Ayatul Ahkam, dan Penulis kitab ‘at Tafsir al Kabir’) berkata;
“Para ulama
berbeda pendapat tentang apakah Basmalah merupakan bagian dari al Fatihah
ataukah tidak. Para Qurra’ Kufah menghitungnya sebagai bagian dari al Fatihah,
sedangkan Qurra’ Bashrah tidak menghitungnya sebagai bagian darinya. Senada
dengan as Syafii yang berkata; “Ia adalah bagian dari ayat al Fatihah, jika
tidak membacanya, maka sholatnya harus diulang.” Sedangkan Imam al Karkhi
berpendapat untuk tidak menjahrkan bacaannya. Ini menunjukkan bahwa Basmalah
bukanlah bagian dari al Fatihah. Penulisannya di awal setiap surat juga tidak
menunjukkan bahwa ia bagian dari surat-surat dimaksud.”
Lebih lanjut
ia berkata; “Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Basmalah bukanlah bagian ayat
dari setiap surat adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw;
(ٍسُوْرَةٌ
فِى الْقُرْآنِ ثَلاَثُوْنَ آيَةً شُفِعَتْ لِصَاحِبِهَا حَتَّى غُفِرَ لَهُ ﴿تَبَارَكَ
الَّذِى بَيَدِهِ الْمُلْكُ
“Ada satu
surat dalam al Qurán yang terdiri dari 30 ayat yang memberikan syafaat kepada
siapa yang membacanya hingga ia diampuni Allah SWT, “Tabaarakalladzii biyadihil
mulku’.
Para Qurra’
sepakat bahwa surat al Mulk terdiri dari 30 ayat selain Basmalah. Jika Basmalah
dimasukkan, berarti ayatnya menjadi 31, ini bertentangan dengan sabda Nabi.
Demikian pula dengan surat al Kautsar yang terdiri dari 3 ayat dan al Ikhlas 4
ayat.”
TARJIEH:
Setelah
mencermati berbagai dalil yang dikemukakan, kami dapat menyimpulkan bahwa tampaknya
pendapat Maliki yang paling benar. Madzhab ini berada di antara dua Madzhab
yang berbeda pendapat. Syafi’iyah berpendapat bahwa Basmalah merupakan salah
satu ayat dari al Fatihah dan merupakan ayat pertama dari setiap surat.
Sementara al Malikiyah berpendapat bahwa Basmalah bukanlah bagian ayat al
Fatihah dan tidak juga surat-surat Qur’an lainnya. (وَلِكُلٍّ وِّجْهًةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا)
Beberapa
hadits Mutawatir dan pendapat para sahabat menyatakan bahwa Basmalah adalah
salah satu ayat dari al Qur’an. Namun ia bukanlah bagian dari al Fatihah maupun
surat-surat lainnya, kecuali an Naml. Basmalah adalah pemisah tiap-tiap surat,
sebagaimana yang disinyalir dalam hadits Ibn Abbas;
( أّنَّ رَسُولَ
اللهِ صلعم كَانَ لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ ﴿ بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ
“Bahwa
Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah antara surat, hingga diturunkan ayat,
‘Bismillahirrahmanirrahim.”
Adapun
penulisannya di setiap awal surat, para ulama Tafsir sepakat, semata-mata untuk
tabarruk.
2. Apakah
hukum membaca Basmalah di dalam sholat?
Ada beberapa
pendapat di kalangan para Fuqaha mengenai hukum membaca Basmalah dalam sholat;
A. Imam Maliki melarang membacanya dalam tiap-tiap
sholat fardhu, baik jahr maupun sir. Tidak dalam surat al Fatihah maupun
surat-surat lainnya. Ia hanya membolehkan membacanya dalam sholat sunnah.
B. Imam Abu Hanifah membolehkan membaca Basmalah
secara sir dalam tiap surat al Fatihah yang dibaca setiap rakaat. Jika Basmalah
juga dibaca sebelum membaca surat-surat yang lain, itu lebih baik.
C. Imam Syafi’i berkata; Basmalah wajib dibaca oleh
setiap musholli, baik secara jahr maupun sir.
D. Imam Ahmad ibn Hanbal; Hendaklah dibaca sir dan
tidak disunnahkan dibaca jahr.
Sumber dari
perbedaan pendapat ini adalah perbedaan sebelumnya, tentang apakah Basmalah
bagian ayat dari al Fatihah dan tiap-tiap surat lainnya. Serta beberapa
pendapat dari kalangan ulama.
Ibn al Jauzi
berkata dalam kitabnya, ‘Zaadul Masiir’: “Para ulama berbeda pendapat tentang
Basmalah, apakah termasuk bagian ayat al Fatihah dan surat-surat lainnya atau
tidak? Imam Ahmad memiliki dua pendapat; Orang yang berkata bahwa Basmalah
merupakan bagian dari al Fatihah, maka ia wajib dibaca dalam sholat bersama
Fatihah. Sedangkan yang mengatakan tidak termasuk, maka membacanya bersama
fatihah hukumnya sunnah. Imam Maliki tidak mensunnahkan membacanya.”
Mereka juga
berbeda pendapat tentang membacanya secara jahr. Sebagian jamaah menukil dari
pendapat Imam Ahmad; Tidak disunnahkan membacanya secara jahr. Ini merupakan
pendapat Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibn Mas’ud, Madzhab ats Tsauri, Malik,
dan Abu Hanifah.
Madzhab
Syafii berpendapat bahwa membacanya secara jahr disunnahkan. Pendapat ini
diriwayatkan dari Mu’awiyah, ‘Atho’, dan Thowus.
3. Wajibkah
membaca al Fatihah dalam sholat?
Dalam hal
ini terdapat dua Madzhab yang berbeda pendapat;
a). Madzhab
Jumhur (Malik, Syafii, Ahmad): Membaca surat Fatihah adalah syarat sahnya
sholat. Barangsiapa meninggalkannya padahal ia mampu membacanya, maka sholatnya
tidak sah.
Dalil Jumhur
Ulama;
Dalil yang
menjadi dasar kewajibannya;
1. Hadits Ubbadah ibn as Shomit dari Rasulullah saw;
لاَ صَلاَةَ
لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada
sholat bagi orang tidak membaca al Fatihah.” (HR As Sittah tanpa Maliki)
2. Hadits Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda;
مَنْ صَلَّى
صَلاَةً لَمْ يُقْرَأْ فِيْهَا بِأُمِّ الْكِتَابِ فَهِىَ خِدَاجٌ، فَهِىَ خِدَاجٌ،
فَهِىَ خِدَاجٌ غَيْرَ تَمَامٍ
“Barangsiapa
sholat tanpa membaca Ummul Kitab, maka sholatnya berkurang, maka sholatnya
berkurang, maka sholatnya berkurang, tidak sempurna.” (HR Malik, Turmidzi, dan
Nasa-i)
3. Hadits Abu Sa’ied al Khudry;
أُمِرْنَا
أَنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ
“Kami
diperintahkan untuk membaca al Fatihah (dalam sholat) dan (surat-surat) yang
mudah.” (HR Abu Daud dengan isnad shohih)
b). Madzhab ats Tsaury dan Abu Hanifah; Sholat tetap
mendapat pahala sekalipun didalamnya tidak dibaca al Fatihah. Sholatnya tidak
rusak namun terdapat cela. Yang wajib dibaca secara mutlak adalah ayat pendek
atau panjang.
Dalil
Hanafiah:
Ats Tsaury dan para Fuqaha Hanafiah
melandaskan pendapatnya pada dalil-dalil al Qur’an dan as Sunnah, a.l.;
Al Qur’an;
Allah berfirman dalam surat al Muzammil 20; (فَاقْرَؤُوْا مَاتَيَسَّرَ
مِنَ الْقُرْآنِ)Mereka berkata; Ayat di atas menunjukkan bahwa
yang wajib dibaca adalah semua surat yang mudah dibaca dari al Qur’an.
Dikatakan demikian, karena ayat ini mengacu pada perintah membaca dalam sholat;
(إِنَّ رَبَّكَ
يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُوْمُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَىِ اللَّيْلِ... فَاقْرَؤُوْا مَاتَيَسَّرَ
مِنَ الْقُرْآنِ) Ayat ini memang menunjuk pada sholat
malam, namun bagi kami berlaku secara umum, baik sholat sunnah maupun wajib.
As Sunnah;
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa ada seorang lelaki memasuki masjid dan
sholat. Kemudian dia mendatangi Rasulullah saw dan memberi salam. Rasulullah
menjawab salamnya sembari bersabda; “Kembalilah dan sholatlah, sesunguhnya
engkau belum sholat.” Lelaki itu kembali sholat, kemudian kembali mendatangi
Nabi. Namun Rasulullah kembali menyuruh lelaki itu mengulang sholatnya, sampai
terulang tiga kali berturut-turut. Lelaki itu berkata kepada Rasulullah; “Demi
yang Mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak bisa melaksanakan yang lebih baik
daripada ini.” Rasulullah saw bersabda;
إِذَا قُمْتَ
إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ،
ثُمَّ اقْرَاْ مَاتَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
سَاجِدًا، ثُمَّ ارْتَفِعْ حَتَّى تَسْتَوِى قَائِمًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ
كُلِّهَا
“Jika engkau
berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu’, menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah,
bacalah ayat yang mudah kamu baca dari al Qur’an, kemudian rukuklah dengan
sempurna dan thumakninah, I’tidallah hingga berdiri sempurna, sujudlah dengan
sempurna dan thumakninah, angkat dan duduklah dengan thumakninah, lalu sujudlah
dengan sempurna dengan thumakninah, kemudian angkatlah hingga berdiri sempurna.
Lakukanlah semua gerakan itu dalam sholatmu.”
Mereka
berkata; Hadits Abu Hurairah di atas menunjukkan bahwa Rasulullah memberikan
pilihan untuk membaca surat apapun yang mudah dibaca oleh orang yang shalat.
Adapun
hadits Ubbadah ibn as Shamit lebih mengacu pada ketidak-sempurnaan shalat tanpa
membaca al Fatihah. Mereka memahami hadits tersebut dengan, “Tidak sempurna
sholat seseorang yang didalamnya tidak dibaca al Fatihah.” Karena itu mereka
menganggap hukum sholatnya sah, hanya tidak disukai. Hadits tersebut sama
dengan hadits;
لاَ صَلاَةَ
لِجِوَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
“Tidak ada
sholat bagi orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid.”
Sedangkan
hadits Abu Hurairah; “sholatnya berkurang….” menunjukkan bahwa sholat seseorang
hukumnya sah sekalipun kurang sempurna.
Di sini bisa
kita simpulkan, bahwa pendapat Jumhur Ulama dalilnya lebih kuat dan lebih
lurus. Bahwa Rasulullah saw mewajibkan untuk membaca al Fatihah, baik pada
sholat fardhu maupun sunnah. Sholat tidak akan diberi pahala tanpa membacanya.
Adapun dalil
yang memperkuat pendapat Jumhur Ulama adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Abi Qatadah, ia berkata;
كَانَ رَسُوْلُ
الله صلعم يُصَلِّى بِنَا فَيَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ
الأُولَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُوْرَتَيْنِ
وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ أَحْيَانًا، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِى الرَّكغَةِ الأُوْلَى مِنَ
الظُّهْرِ، وَيُقَصِّرُ الثَّانِيَةَ، وَكَذَلِكَ فِى الصُّبْحِ
“Rasulullah
saw mendirikan sholat bersama kami. Pada sholat Zhuhur dan Ashar beliau membaca
al Fatihah dan dua surat pada dua rakaat pertamanya. Kadang beliau
memperdengarkan ayat kepada kami. Beliau memperpanjang bacaan pada rakaat
pertama sholat Zhuhur dan memendekkan rakaat yang kedua. Demikian pula dengan
sholat Shubuh.”
Dalam
riwayat yang lain dinyatakan; “Dan beliau (hanya) membaca surat al Fatihah pada
dua rakaat terakhir.”
At
Thabary berkata; “Ummul Qur’an harus dibaca pada setiap rakaat. Kalau tidak,
harus mengganti dengan bacaan al Qur’an yang semisal dengannya, baik dari segi
jumlah ayat maupun hurufnya.”
Al Qurthubi
berkata; “Yang paling benar dari pendapat di atas adalah pendapat as Syafii,
Ahmad, dan Malik dalam pendapat terakhir. Al Fatihah harus dibaca pada setiap
rakaat sholat, sesuai dengan sabda beliau; {لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ}. Begitu pula dengan hadits yang
diriwayatkan dari Umar ibn Khotthob, Abdullah ibn Abbas, Abu Hurairah, Ubay ibn
Ka’ab, Abu Ayyub an Anshary, Ubbadah ibn as Shamit, dan Abi Sa’ied al Khudry,
bahwa mereka berkata; {لاَ صَلاَةَ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ}
Pendapat
senada dikemukakan Imam al Fakhrurrazi; Bahwa Rasulullah saw sepanjang hidupnya
selalu membaca al Fatihah dalam setiap rakaat shalatnya. Bagi para ulama
hendaklah mengikuti perbuatannya. وَاتَّبِعُوْهُ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
4. Apakah Makmum di belakang Imam juga harus membaca
al Fatihah?
Para Ulama
Madzhab sepakat bahwa jika seorang Makmum mendapati Imam sudah ruku’,
diperkenankan baginya untuk tidak membaca al Fatihah dan langsung mengikuti
gerakannya. Mereka sepakat bahwa bacaan Fatihah atas Makmum masbuq gugur dengan
ruku’nya Imam.
Namun
bagaimana bila Makmum mendapati Imam masih berdiri, apakah ia harus membaca
Fatihah di belakangnya, atau bacaan Imam sudah cukup baginya? Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat;
a. Imam Syafii dan Ahmad tetap mewajibkan Makmum untuk
membaca al Fatihah di belakang Imam, baik dalam shalat sir atau jahr.
Imam Syafii
dan Imam Ahmad ibn Hanbal berdalil pada dalil terdahulu; {لاَ صَلاَةَ
إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ} Lafazh hadits ini bersifat umum, mencakup
Imam dan Makmum sekaligus.
b. Imam Malik; Jika shalat itu sir, Makmum wajib
membaca al Fatihah di belakang Imam. Namun dalam shalat jahr, tidak perlu
membacanya.
Imam Malik
juga mendalilkan pendapatnya pada hadits terdahulu. Ia melarang Makmum membaca
Fatihah apabila shalat itu jahriyah dengan dalil ayat 204 al A’raf;
(وَإِذَا
قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ)
Imam
Qurthubi menukil dari Imam Malik bahwa seorang musholli tidak perlu membaca
ayat apapun dari al Qur’an di belakang Imam pada shalat jahriyah. Namun pada
shalat sirriyah, hendaklah membaca Fatihah. Jika meninggalkannya, shalatnya
cacat, namun tetap sah.
Abu Hanifah;
Seorang Makmum tidak wajib membaca Fatihah di belakang Imam, baik dalam shalat
jahriyah maupun sirriyah.
Imam Abu
Hanifah melarang Mamum membaca Fatihah di belakang Imam secara mutlak, sebagai
implementasi dari ayat; (وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ) dan hadits Rasulullah saw;
مَنْ كَانَ
لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ
“Barangsiapa
memiliki Imam, maka bacaan Imam adalah bacaan baginya.” (HR Ibn Abi Syaibah
dari Abu Hurairah)
Beliau juga
berdalil pada yang diriwayatkan dari Nabi saw;
إِنَّمَا
جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا
“Sesungguhnya seseorang ditunjuk Imam untuk diikuti. Apabila ia
bertakbir, bertakbirlah, dan apabila ia membaca, maka dengarkanlah.” (HR Abdu
ibn Hamid dari Jabir ra).
Berikut
adalah terjemahan bebas tentang surah Al Fatihah yang terdapat dalam kita
Tafsir Ayat Ahkam karya Syeikh Ali Ash Shabuny.
تفسير الآيات : (1- 7(
}بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ
يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7 {(
1.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
2.
Segala puji bagi Allah, rabb seluruh alam
3.
Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
4.
Pemilik hari pembalasan
5.
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan
6.
Tunjukilah kami jalan yang lurus
7.
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
URAIAN LAFAZH:
Kata, الْحَمْدُ لِلّٰهِ
: adalah pujian yang indah untuk mengagungkan dan memuliakan.
Al Qurthubi;
Ucapan الْحَمْدُ
لِلّٰهِ dalam komunikasi bangsa Arab berarti pujian yang sempurna.
Adapun penggunaan (ال) dalam kata tersebut berfungsi untuk
melampaui berbagai jenis pujian. Bahwa Allah SWT memiliki segala macam pujian
secara mutlak. Ia adalah lawan kata ‘celaan’ dan lebih universal dari rasa
syukur. Karena kata syukur hanya digunakan ketika telah mendapat suatu nikmat,
sedangkan الْحَمْدُ
لِلّٰهِ lebih dari itu. Suatu
contoh:
“Seorang lelaki dipuji karena keberanian dan ilmunya.”
Bandingkan dengan; “Saya sangat berterima kasih atas kebaikan yang telah
dilakukannya pada kami.”
Dengan
demikian, jelas; Pujian dilakukan dengan lisan saja, sedangkan syukur (terima
kasih) dilakukan dengan lisan, hati, dan anggota badan sekaligus.
At Thobari
menyatakan bahwa pujian dan syukur adalah satu kesatuan.
Kata, رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
: Kata, ‘Rabb’ secara linguistik adalah bentuk gerund (isim mashdar) yang
bermakna, ‘Tarbiyah’ (pendidikan, pengayoman, pemeliharaan). Ia selalu
berorientasi pada upaya memperbaiki urusan orang lain dan memeliharanya.
الرَّبُّ
: Berasal dari kata, ‘Tarbiyah’, yang berarti Allah SWT mengatur kehidupan para
hamba-Nya dan memeliharanya.
Kata ini
juga memiliki beberapa makna; “Penguasa, yang memperbaiki, yang disembah, tuan
yang ditaati, dan banyak lagi makna lainnya.” Dalam hadits yang diriwayatkan
Syaikhon disinyalir; “Tidaklah salah seorang di antara kalian mengatakan; Beri
makan Tuhanmu, bersihkan Tuhanmu, tidak pula mengatakan Robbi. Tapi katakanlah;
Junjunganku dan Pelindungku (Sayyidi wa Maulaaya).”
الْعَالَمِيْنَ
: Isim Jama’dari الْعَالَمُِ : adalah nama alam (benda) yang
konotasinya tidak hanya satu jenis benda saja.
Abu Sa’ud; الْعَالَمُِ
adalah nama alam yang sudah dikenal dan Allah SWT mengetahui segala apa yang
terjadi padanya.
Ibn Jauzi; الْعَالَمُِ
di kalangan bangsa Arab adalah nama dari makhluk yang tumbuh dari awal dan
berkembang hingga pertumbuhannya berakhir. Adapun dalam pandangan para peneliti
(Ahlun Nazhar); Ia adalah nama yang dinisbatkan kepada seluruh jagad raya yang mencakup langit,
bumi, gugusan galaksi, dan seluruh makhluk hidup yang ada di dalamnya.
Yang pasti,
adanya alam semesta ini menunjukkan adanya Sang Maha Pencipta.
Ibn Abbas; رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
adalah Pemelihara kalangan manusia, jin, malaikat.
Al Farra’
dan Abu Ubaidah; الْعَالَمُ adalah kata yang digunakan untuk makhluk
yang berakal, seperti manusia, malaikat, jin, dan syetan. Tidak patut untuk
binatang.
Sebagian
Ulama; Ia adalah kata yang dinisbatkan pada seluruh jenis makhluk hidup, baik
manusia, jin, malaikat, burung, tumbuhan, benda-benda mati, dan lain
sebagainya. Jadi kata; رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
mencakup seluruh jenis makhluk di atas.
الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ : Dua nama di antara sekian banyak nama
Allah SWT, berasal dari akar kata الرَّحْمٰةُ . الرَّحْمٰنِ
; Pemberi nikmat dengan segala kemuliaan yang meliputinya. Sedangkan الرَّحِيْمِ
; Pemberi nikmat dengan segala kelembutan dan kasih sayang yang meliputinya.
Al Khottobi;
الرَّحْمٰنِ
; Maha Memiliki rahmat komprehensif yang
meliputi seluruh makhluk, termasuk di dalamnya rizki maupun kemaslahatan
makhluk-Nya. Baik yang mukmin maupun
kafir.
Sedangkan, الرَّحِيْمِ
khusus diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, sesuai firman-Nya (Al
Ahzab 43); وَكَانَ
بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا
Kata, الرَّحْمٰنِ adalah sifat yang hanya boleh dinisbatkan
untuk Allah SWT, tidak untuk makhluk-Nya. Berbeda dengan kata, لرَّحِيْمِ
yang boleh dinisbatkan kepada para makhluk, seperti disinyalir at Taubah 128; بِالْمؤْمِنِيْنَ
رَؤُوْفٌ رَحِيْمُ
Al
Qurthubi berkata; Para Ulama sepakat, bahwa kata, الرَّحْمٰنِ
hanya khusus untuk Allah. Coba perhatikan al Isra 110; ﴿قُل اُدْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ﴾
Sejalan
dengan ayat ini ditegaskan Allah, bahwa yang berhak disembah adalah Yang Maha
Rahman. Perhatikan ayat 45 az Zukhruf; ﴿أَجَعَلْنَا مِنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِ آلِهَةً
يُعْبَدُوْنَ﴾ Musailamah al Kadzdzab
(la’anahullah) pernah berani menyematkan nama atas dirinya, {رَحْمَانُ
اليَمَامَةِ}. Lalu Allah membuat setiap orang yang
mendengarnya, menjulukinya dengan sifat al Kadzdzab.
يَوْمُ الدِّيْنِ
; Hari pembalasan dan perhitungan. Pada hari itu, Allah SWT menjadi Penguasa
atas semua perhitungan dan pembalasan yang dilaksanakan. Kata, الدِّيْنُ
secara linguistik; Balasan. Allah berfirman (as Shoffat 53; أَإِنَّا
لَمَدِيْنُوْنَ
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ : نَعْبُدُ ;
Kami merendahkan dan menundukkan diri. Makna العُبُوْدِيَّةُ
; Menundukkan diri dan meminta pertolongan.
Az
Zamakhsyari; Ibadah adalah puncak dari ketundukan. Ketundukan semacam ini hanya
patut untuk Allah SWT, selaku Pemberi segala nikmat.
وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِيْنُ : Kata, الإِسْتِعَانَةُ;
Meminta pertolongan. Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas
ra;
إِذَا سَأَلْتَ
فاسأَلِ اللهَ, وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Jika engkau
meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika ingin meminta pertolongan, minta
tolonglah kepada Allah.”
إِهْدِنَا
: Tunjuki kami ke jalan lurus. Bimbing kami ke arahnya dan perlihatkan kepada
kami jalan hidayah yang dapat mendekatkan kami kepada-Mu.
Kata, الهِدَايَةُ
; Kadang bisa berarti; Petunjuk {الدَّلاَلَةُ}.
Seperti firman Allah ayat 17 Fusshilat:
فَأَمَّا
ثَمُوْدُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوْا الْعَمَىٰ عَلَى الْهُدَى
“Adapun kaum
Tsamud, Kami beri mereka petunjuk, namun mereka lebih memilih kesesatan
daripada petunjuk.”
Kadang bisa
berarti kesadaran, keinsyafan {الإِرْشَادُ},
dan ketetapan iman. Seperti al Qashash
56;
إِنَّكَ
لاَ تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللهَ يَهْدِى مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau tidak dapat menyadarkan orang engkau cintai, akan
tetapi Allah menyadarkan siapa saja yang Dia kehendaki.”
Adapun Rasul
hanya berfungsi sebagai ‘penunjuk’ ke jalan Allah;
وَإِنَّكَ لَتَهْدِى إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
namun tidak
dapat memasukkan keimanan ke dalam hati manusia.
الصراط المستقيم
: menurut Al Jauhari; الصراط = السِّرَاطُ = الزَّرَّاطُ
; Jalan. Orang Arab selalu menggunakan kata ini untuk menunjukkan lurus atau
tidaknya suatu ucapan, pekerjaan atau sifat seseorang. Artinya syar’inya adalah
Agama Islam.
المستقيم
: Jalan yang tidak bengkok dan tidak menyimpang. Sesuai firman Allah, al An’am
153;
﴿وَأَنَّ هٰذَا صِرَاطِى مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوْهُ﴾
أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ : النعمة ; Kesenangan dan kenikmatan hidup.
Ibn Abbas;
Mereka adalah golongan para nabi, orang-orang yang benar imannya (as
Shiddiiquun), para syuhada, dan orang-orang sholih. Para Jumhur Ulama
sependapat dengan pendapat ini. Sesuai firman Allah, an Nisa 69;
﴿وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ
اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ
وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيْقًا﴾
الـمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
: Mereka adalah orang-orang Yahudi. Al Baqarah 61:
﴿وَبَاؤُوْا بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ﴾
(Al
Maidah 60);
﴿مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ
مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيْرَ﴾
الضَّآلِّيْنَ
: Melenceng dari tujuan, hingga kebenaran menjadi lenyap, seperti disinyalir
ayat 10 as Sajdah; وَقَالُوْا إِذَا ضَلَلْنَا فِى الأَرْضِ
Yang
dimaksud dengan kata ini adalah orang-orang Nashrani. Seperti disinyalir ayat
77 al Maidah;
قَدْ ضَلُّوْا
مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ
Sebagian Ahli Tafsir; Yang dimaksud dengan ﴿المغضوب عليهم﴾
; orang-orang yang melakukan kesalahan dalam amalan-amalan
zhahir (mereka adalah orang-orang fasiq). ﴿الضالون﴾ ;
orang-orang yang salah dalam keyakinan (I’tiqod). Orang yang ingkar terhadap
Sang Pencipta dan orang-orang musyrik, keyakinannya lebih rendah daripada
orang-orang Yahudi dan Nashrani. Pendapat ini menjadi pilihan Imam Fakhrurrozi.
Namun
pendapat ini dibantah oleh al Alwasy. Menurutnya, penafsiran dua kata di atas
adalah orang Yahudi dan Nashrani, seperti disinyalir oleh hadits yang shahih.
Al Qurthubi;
Jumhur Mufassirin sepakat bahwa yang dimaksud dengan ﴿المغضوب عليهم﴾ adalah
orang Yahudi, sedangkan ﴿الضالون﴾ adalah orang Nashrani.
Pendapat ini didasarkan pada penafsiran hadits Nabi tentang sahabat ‘Adi ibn Hatim dan kisah keislamannya.
Saya katakan;
Yang dikemukakan Imam Fakhrurrozi tidak dimaksudkan untuk menyalahi hadits
shahih. Namun beliau hanya mengeneralisir hukum, sehingga orang-orang Yahudi,
Nashrani, dan orang-orang yang menyimpang dari syariat agama Allah SWT, seperti
orang-orang munafiq dan kafir tercakup dalam makna ayat di atas. Berikut adalah
pendapat beliau; Yang termasuk dalam kategori (المغضوب عليهم)
adalah orang-orang kafir. Sedangkan (الضالون)
adalah orang munafiq. Hal itu terlihat saat Allah memaparkan ciri-ciri orang
beriman dalam 5 ayat pertama al Baqarah, kemudian diikuti dengan ciri orang
kafir, kemudian ciri orang munafiq.Dengan demikian, dalam al Fatihah Allah
menyebut orang beriman dengan ayat (أَنْعَمْتَ عَلَيْهِ
), kemudian diikuti dengan orang-orang kafir (غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ),
dilanjutkan dengan orang-orang munafiq (وَلاَالضَّآلِّيْنَ).”
آمِيْن:
Sebuah kalimat yang menurut Ijma’ Ulama tidak tertulis dalam mushaf a Qur’an
Kariem. Ia memiliki makna; Kabulkanlah doa kami, ya Rabb.
Al Alwasy;
Disunnahkan untuk membaca kalimat ini setiap kali selesai membaca Fatihah,
berdasarkan hadits Abi Maisarah;
أَنَّ جِبْرِيْلَ
أَقْرَأَ النَّبِيَّ صلعم فَاتِحَةَ الْكِتَابِ, فَلَمَّا قَالَ: ﴿وَلاَالضَّآلِّيْنَ﴾
قَالَ لَهُ: قُلْ: آمِيْن فقال: آمِيْن (روح المعاني للألواسي)
Ibn An
Anbari; Kata آمِيْن adalah doa, bukan bagian dari al Qur’an.
Ia adalah salah satu isim dari Isim Fa’il yang berarti; Ya Allah, kabulkanlah.
Ia memiliki dua versi; {أَمِيْن} berwazan pada {فَعِيْل} {آمِيْن}
berwazan pada {فَاعِل}
MAKNA
FATIHAH DALAM KITAB “FII
ZHILAALIL QURÁN”
Sayyid Quthb berkata dalam kitabnya, “Fii Zhilaalil
Qur’an”;
Ayat pendek
yang terdiri dari 7 ayat ini paling tidak dibaca oleh seorang muslim 17 X
sehari semalam. Bahkan lebih banyak, jika ia suka melakukan shalat sunnah atau
membacanya di lain waktu-waktu shalat saat ingin merasa lebih dekat kepada
Rabbnya. Selain itu, shalat tidak sah tanpa membaca surat ini, sesuai dengan
hadits yang diriwayatkah oleh Bukhari - Muslim;
لاَ صَلاَةَ
لِمَنْ لَمْ يُقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Dalam surat
ini tercakup seluruh unsur Aqidah Islamiyah, perilaku akhlak Islamy, dan
berbagai perasaan yang mengacu pada penghambaan. Karena alasan inilah surat al
Fatihah dipilih Allah untuk dibaca di
setiap rakaat shalat yang ditegakkan.
Surat ini dimulai dengan ( بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ
) Para Ulama Tafsir sepakat bahwa memulai suatu perbuatan dengan bacaan ini
merupakan etika yang diajarkan Allah SWT kepada Rasulullah saat menurunkan
wahyu pertama; (إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ)
Kemudian dilanjutkan dengan pengulangan dua sifat-Nya; ( الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ ) untuk menggambarkan hubungan antara sang
Khaliq dengan hamba-Nya. Dengan demikian, Aqidah Islamiyah yang sempurna selalu
muncul sebagai rahmat yang hakiki bagi hati dan pikiran.
Dilanjutkan kemudian dengan, ( الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ ) yang di dalamnya tercakup seluruh makna
kasih sayang. Pengulangan kalimat ini adalah untuk menegaskan hakikat Tauhid
Rububiyah yang sempurna dan komprehensif.
Ayat; ( مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
) menggambarkan adanya rasa percaya yang komprehensif terhadap Akhirat. Bahkan
kehidupan manusia tidak akan pernah mencapai manhaj Allah yang tinggi, selama
akidah ini belum disempurnakan.
Ayat; ( إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِيْنُ ) memberi gambaran, bahwa tidak ada yang
patut disembah dan dimintai pertolongan selain Allah. Manusia diperintahkan
untuk selalu mensyukuri setiap pencapaian yang diraih dalam kehidupannya. Perlu
dicatat bahwa pencapaian itu terjadi bukan karena kemampuan yang dimilikinya,
namun karena Allah telah menundukkannya. (وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِى الأَرْضِ
جَمِيْعًا)
Setelah asas-asas akidah dikemukakan, barulah
dijelaskan bentuk amaliahnya; (إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ,
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ)
Mengenal Allah dan sikap istiqomah dalam penghambaan merupakan buah dari
keyakinan dan kepercayaan. Hidayah merupakan hal paling tinggi yang diminta
oleh manusia dari Tuhannya. Ia adalah fitrah manusia untuk menuju kepada syariat-Nya,
yang bermuara pada jalan orang-orang yang berbahagia di surga.
LATHO-IF TAFSIR:
1.Allah
memerintahkan untuk membaca Ta’awwudz ketika akan membaca al Qur’an
( فَإِذَا قَرَأتَ الْقُرآنَ
فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ ﴾ ( النحل ٩٨)
Jakfar
Shadiq; Membaca Ta’awwudz merupakan keharusan saat akan membaca al Qur’an,
namun tidak demikian untuk amalan ketaatan lainnya. Hikmahnya adalah lisan
manusia cenderung dikotori dengan perkataan dusta, ghibah, atau mengadu-adu.
Karena itu Allah memerintahkan untuk mensucikan lisannya dengan Ta’awwudz
ketika hendak membaca kalam-Nya.
2. Di kalangan
Ahli Bahasa, kata ‘Basmalah’ adalah ucapan
( بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ )
Pembukaan al
Qur’an yang dimulai dengan ayat tersebut, merupakan isyarat bagi kita untuk
juga memulai semua aktifitas dan ucapan kita dengannya. Nabi menegaskan dalam
hadits yang diriwayatkan Abu Daud;
كُلُّ أَمْرٍ
ذِى بَالٍ لاَ يَبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ فَهُوَ أَبْتَرُ
Jika ada
yang bertanya; Kenapa harus mengucapkan بِسْمِ اللهِ
, bukan, بِاللهِ ?
Kita jawab;
Seperti yang dikatakan oleh al ‘Allamah Abu Sa’ud; Penyertaan kata ‘الإِسْمُ’
menunjukkan keinginan untuk mendapat
keberkahan. Permohonan itu harus disertai dengan mengingat nama-Nya.
3. Apa
perbedaan antara lafazh {الله} dan {الإلٰه}?.
Kata pertama, {الله} adalah Isim ‘Alam (nama diri) yang hanya
dinisbatkan untuk Dzat Yang Maha Suci, artinya yang disembah secara haq.
Sedangkan kata kedua, {الإلٰه} bisa dinisbatkan kepada Allah atau benda-benda
lainnya. Ia berasal dari akar kata {أَلَهَ}
; yang disembah, baik dengan haq atau tidak. Berhala yang disembah kaum
musyrikin Arab Jahiliyah disebut dengan, {آلِهَةٌ}
kata jama’ dari {إِلٰهٌ} yang disembah dengan cara bathil. Tidak
ada seorang pun di antara mereka yang menamai berhala dengan kata, {الله}.
Jika mereka ditanya; “Siapakah pencipta langit dan bumi?.” Mereka akan
menjawab; “Allah.” (وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَالأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللهَ) (Luqman 25)
4. Dalam ucapan
kita; ( بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ ) terdapat berbagai faidah mulia. Di
antaranya; memohon keberkahan dengan nama Allah SWT, pemuliaan terhadap-Nya,
terhindar dari syetan, ketenteraman ketika dirundung rasa takut, dlsb. Yang
pasti di dalamnya terdapat 2 nama yang hanya khusus untuk-Nya; Allah dan ar
Rahman.
5. Huruf Alif
dan Lam dalam ayat (الحمد);
Tidak ada yang memiliki pujian sempurna kecuali Allah SWT. Dengan demikian,
kata (الحمد لله)
memberikan isyarat bahwa pujian yang dimaksud adalah pujian yang
berkesinambungan dan abadi.
6. Adapun
disebutkannya lafazh, (الرحمن الرحيم)
setelah (رَبِّ العَالَمِيْن)
karena kata {رَب} identik dengan makna kesombongan,
kekuasaan, keperkasaan yang memiliki konotasi ditakuti. Oleh karena itu
ditegaskan dengan (الرحمن الرحيم) bahwa Rabb ini memiliki kasih sayang yang
meliputi segala sesuatu.
Ibn Hayyan;
Allah menyifati diri-Nya dengan ‘Rabb’ untuk menegaskan ke-Maha-an-Nya yang
selaras dengan sifat kasih dan sayang-Nya.
Ibn Qoyyim;
Penggandengan dua sifat, (الرحمن الرحيم)
memiliki makna yang indah. (الرحمن) menunjukkan pada sifat diri-Nya,
sedangkan (الرحيم)
menunjukkan keterkaitan diri-Nya dengan para makhluk. Atau dengan kata lain,
yang pertama berkenaan dengan sifat-Nya, yang kedua berkenaan dengan
perbuatan-Nya.
(وَكَانَ
بِالمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا) Al Ahzab 43 (إِنَّهُ بِهِمْ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ)
At Taubah 117.
7. Ada 2 lafazh
jama’ yang digunakan Allah dalam al Fatihah; ﴿نَعْبُدُ - نَسْتَعِيْنُ﴾ Menunjukkan
ketidakberanian dan ketidakpantasan kita untuk berdoa seorang diri kepada
Allah. Karena itu didalamnya tersirat kata, ‘bersama orang-orang yang
mentauhidkan Engkau.”
8. Menisbatkan
nikmat hanya kepada Allah SWT; ﴿ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ﴾ Seperti
firman Allah lewat lisan Ibrahim as;
(الَّذِى خَلَقَنِى فَهُوَ يَهْدِيْنِِ وَالَّذِى هُوَ يُطْعِمُنِى
وَيَسْقِيْنِ وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ)
As Syu’ara 78-80
HUKUM-HUKUM SYARI’AT:
1. Apakah
Basmalah salah satu ayat dari al Qur’an?
Para Ulama
Tafsir sepakat bahwa Basmalah yang disinyalir dalam surat an Naml 30 adalah
bagian dari ayat al Qur’an. (إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ) Mereka berbeda pendapat, apakah ia
merupakan bagian dari surat al Fatihah dan merupakan awal dari tiap surat atau
tidak?
Madzhab Syafi’i; Ia adalah bagian dari surat Fatihah
dan merupakan bagian ayat dari setiap surat.
Dalil
Madzhab Syafi’iyah;
I. Hadits Abu Hurairah dari Nabi saw;
إِِذَا قَرَأْتُمُ
الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ,
إِنَّهَا أُمُّ الْقُرآنِ, وَ أُمُّ الْكِتَابِ, وَالسَّبْعُ الْمَثَانِى, وَبِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَحَدُ آيَاتِهَا
“Jika kalian
membaca ‘Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin, bacalah; ‘Bismillahirrahmanirrahim’.
Ia adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, as Sab’ul Matsani, dan
Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu ayat darinya.” (HR Daru Quthni
dari hadits Abdil Hamid ibn Jakfar dari
Nuh ibn Abi Bilal dari Sa’id ibn Sa’id al Maqbari dari Abi Hurairah ra)
II. Hadits Ibn
Abbas ra bahwa Rasulullah saw membuka bacaan sholat dengan بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
III. Hadits Anas ra bahwa ia ditanya tentang bacaan
Rasulullah saw. Ia menjawab;”Bacaan yang beliau baca panjang. Kemudian beliau
membaca;
(بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ﴿١﴾ الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ﴿٢﴾ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ﴿٤ (Hadits dikeluarkan oleh Bukhari dari Anas,
menurut ad Daaru Quthni;Isnadnya shahih)
IV. Hadits Anas,bahwa ia berkata; “Suatu hari
Rasulullah saw berada di tengah-tengah kami. Beliau terlihat sedang
terkantuk-kantuk, kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Maka
kami bertanya; “Apa yang membuat engkau tersenyum ya Rasulullah?.”Beliau
menjawab; “Baru saja turun kepadaku satu surat;
(بِسْم الله
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ * إِنَّا أَعْطَيْنَٰكَ الْكَوْثَرَ* فَصَلِّ لِرَبِّكَ وًانْحَرْ
* إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ)
(HR Muslim,
Nasa-I, Turmudzi, Ibn Majah. Turmudzi mengatakan, hadits ini hasan shahih.
Kelanjutan hadits ini; “Tahukah kalian, apakah al Kautsar itu?.”Para sahabat
menjawab; “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda; “Ia adalah
nama sebuah sungai yang dijanjikan Tuhanku kepadaku. Ia adalah mata air yang
diperuntukkan untuk ummatku pada hari Kiamat…dst)
Mereka
berkata; Hadits ini menunjukkan bahwa Basmalah merupakan bagian dari setiap
surat al Qur’an.
V. Mereka juga menggunakan dalil logika sebagai
pedoaman. Mengingat seluruh kitab Al Qur’an yang diterbitkan di berbagai
negara, di tiap suratnya selalu dimulai dengan; Bismillahirrahmanirrahim,
kecuali surat Bara-ah (at Taubah).
Madzhab Maliki; Basmalah bukanlah bagian dari surat al
Fatihah dan tidak pula surat-surat yang lain.
Dalil
Madzhab Maliki;
I. Hadits
Aisyah ra yang berkata;
كَانَ رَسُولُ
الله صلعم يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالقِرَاءَةِ بِالحَمْدُ لِلَّهِ
رَبّ الْعَالَمِيْنَ
“Rasulullah
saw membuka shalat dengan takbir dan bacaan; Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin.”
(HR Muslim)
II Hadits Anas
yang diriwayatkan dalam kitab as Shohihain, ia berkata;
صَلَّيْتُ
خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صلعم وأَبِي بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَانَ, فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ
الصَّلاَةَ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Saya
(pernah) shalat dibelakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Utsman, dan Ali, mereka
memulai shalat dengan; ‘Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin.”
Dan dalam
riwayat Muslim;
لاَ يَذْكُرُوْنَ
(بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ) لاَ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِى آخِرِهَا
“Tidak
menyebut (Basmalah) pada awal bacaan maupun di akhirnya.” (HR Bukhari Muslim
dari Anas ra)
III. Dalil yang
menunjukkan bahwa Basmalah bukanlah bagian dari al Fatihah adalah hadits Abu
Hurairah; “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda;
قَالَ الله
عَزَّ وَجَلَّ: قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِى
مَاسَأَلَ. فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الحَمْدُ لِلَّه رَبِّ العَالَمِيْنَ، قَالَ اللهُ
تَعَالَى: حَمِدَنِى عَبْدِى، وَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قَالَ
اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى، وَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: مَالِكِ يَوْمِ
الدِّيْنِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: مَجَّدَنِى عَبْدِى – وَقَالَ مَرَّةً: فَوَّضَ إِلَيَّ
عَبْدِى – فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ، قَالَ: هَذَا
بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى، وَلِعَبْدِى مَاسَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: إِهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
وَلاَ الضَّآلِّيْنَ، قَالَ: هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَاسَأَلَ.
“Allah Azza
wa Jalla berfirman; “Aku membagi sholat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua
bagian, dan untuk hamba-Ku apa yang dia pinta. Jika seorang hamba membaca;
“Alhamdulillaahi Robbil ‘aalamiin,” Allah berfirman; “Hamba-Ku telah
memuji-Ku.” Jika seorang hamba membaca; “Ar Rohmaanirrahiim,” Allah berfirman;
“Hamba-Ku telah mengagungkan Aku.” Jika ia membaca; “Maaliki yaumiddiin,” Allah
berfirman; “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.” –Ia berfirman sekali lagi; “Hamba-Ku
telah menyerahkan jiwanya kepada-Ku- Jika seorang hamba “membaca; “Iyyaaka
na’budu wa iyyaaka nasta’iin,” Allah berfirman; “Ini antara Aku dan hamba-Ku,
untuknya apa yang dia pinta.” Jika ia membaca; “Ihdinashshirootol mustaqiim,
shirootolladziina an’amta ‘alaihim ghoril maghdhuubi ‘alaihim waladhdhoolliiin,”
Allah berfirman; “Ini untuk hamba-Ku dan baginya apa dia pinta.” (HR Muslim
dari hadits Sufyan ibn ‘Uyainah dari al ‘Ula’ ibn Abdirrahman dari Abi
Hurairah).
Mereka
berkata; “Yang dimaksud dengan, {قَسَمْتُ الصَّلاَةَ
} dalam hadits Qudsi di atas adalah sholat, karena sholat tidak sah jika di
dalamnya tidak dibaca al Fatihah. Kalau Basmalah merupakan bagian dari al
Fatihah, tentu Allah akan menyebutkan di dalamnya.”
IV. Jika Basmalah bagian dari al Fatihah, tentu di
dalamnya terdapat pengulangan dalam kalimat, (الرحمن الرحٍيم)
V. Penulisannya di setiap awal surat hanya dimaksudkan
untuk Tabarruk (meminta keberkahan)
Al Qurthubi:
“Pendapat yang shahih adalah pendapat Maliki. Karena al Qur’an tidak bisa
ditetapkan hanya dengan hadits Ahad, namun yang lebih layak ditetapkan dengan
hadits Mutawatir.”
Ibn Araby;
“Dari sini terjawab sudah perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan
masyarakat, bahwa Basmalah bukanlah bagian dari surat al Fatihah dan
surat-surat lainnya kecuali dalam surat an Naml.”
Lebih lanjut
ia mengatakan; “Di masjid Nabawi sejak masa Rasulullah saw sampai Imam Malik,
ketika surat al Fatihah dibaca, tidak pernah dimulai dengan Basmalah.”
Madzhab Abu Hanifah
(Hanafi); Basmalah adalah bagian ayat al Qur’an yang sempurna, diturunkan untuk
mejadi pemisah antar surat. Ia bukanlah bagian dari al Fatihah.
Dalil
Madzhab Abu Hanifah;
Madzhab ini memandang Basmalah sebagai bagian dari ayat al Qur’an, namun
bukan bagian dari setiap surat, kecuali surat an Naml. Beberapa hadits yang
menerangkan tidak dibacanya Basmalah secara jahr bersama al Fatihah,
menunjukkan bahwa ia bukanlah bagian dari al Fatihah.
Dalil yang
memperkuat Madzhab mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat
bahwa mereka berkata; “Kami tidak mengetahui berakhirnya sebuah surat (ketika
dibaca), hingga turun ayat, ( بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ).”
(HR Abu Daud)
Demikian
pula yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra;
(أّنَّ رَسُولَ
اللهِ صلعم كَانَ لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ ( بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ
“Bahwa
Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah antara surat, hingga diturunkan ayat,
‘Bismillahirrahmanirrahim.’ (HR Hakim dalam kitab al Mustadrak dan Abu Daud
dari Ibn Abbas dengan isnad shahih)
Imam Abu
Bakar ar Rozi (Imam yang kesohor dengan julukan ‘al Jashshosh’, Ahli Tafsir
Ayatul Ahkam, dan Penulis kitab ‘at Tafsir al Kabir’) berkata;
“Para ulama
berbeda pendapat tentang apakah Basmalah merupakan bagian dari al Fatihah
ataukah tidak. Para Qurra’ Kufah menghitungnya sebagai bagian dari al Fatihah,
sedangkan Qurra’ Bashrah tidak menghitungnya sebagai bagian darinya. Senada
dengan as Syafii yang berkata; “Ia adalah bagian dari ayat al Fatihah, jika
tidak membacanya, maka sholatnya harus diulang.” Sedangkan Imam al Karkhi
berpendapat untuk tidak menjahrkan bacaannya. Ini menunjukkan bahwa Basmalah
bukanlah bagian dari al Fatihah. Penulisannya di awal setiap surat juga tidak
menunjukkan bahwa ia bagian dari surat-surat dimaksud.”
Lebih lanjut
ia berkata; “Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Basmalah bukanlah bagian ayat
dari setiap surat adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw;
(ٍسُوْرَةٌ
فِى الْقُرْآنِ ثَلاَثُوْنَ آيَةً شُفِعَتْ لِصَاحِبِهَا حَتَّى غُفِرَ لَهُ ﴿تَبَارَكَ
الَّذِى بَيَدِهِ الْمُلْكُ
“Ada satu
surat dalam al Qurán yang terdiri dari 30 ayat yang memberikan syafaat kepada
siapa yang membacanya hingga ia diampuni Allah SWT, “Tabaarakalladzii biyadihil
mulku’.
Para Qurra’
sepakat bahwa surat al Mulk terdiri dari 30 ayat selain Basmalah. Jika Basmalah
dimasukkan, berarti ayatnya menjadi 31, ini bertentangan dengan sabda Nabi.
Demikian pula dengan surat al Kautsar yang terdiri dari 3 ayat dan al Ikhlas 4
ayat.”
TARJIEH:
Setelah
mencermati berbagai dalil yang dikemukakan, kami dapat menyimpulkan bahwa tampaknya
pendapat Maliki yang paling benar. Madzhab ini berada di antara dua Madzhab
yang berbeda pendapat. Syafi’iyah berpendapat bahwa Basmalah merupakan salah
satu ayat dari al Fatihah dan merupakan ayat pertama dari setiap surat.
Sementara al Malikiyah berpendapat bahwa Basmalah bukanlah bagian ayat al
Fatihah dan tidak juga surat-surat Qur’an lainnya. (وَلِكُلٍّ وِّجْهًةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا)
Beberapa
hadits Mutawatir dan pendapat para sahabat menyatakan bahwa Basmalah adalah
salah satu ayat dari al Qur’an. Namun ia bukanlah bagian dari al Fatihah maupun
surat-surat lainnya, kecuali an Naml. Basmalah adalah pemisah tiap-tiap surat,
sebagaimana yang disinyalir dalam hadits Ibn Abbas;
( أّنَّ رَسُولَ
اللهِ صلعم كَانَ لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ ﴿ بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحٍيْمِ
“Bahwa
Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah antara surat, hingga diturunkan ayat,
‘Bismillahirrahmanirrahim.”
Adapun
penulisannya di setiap awal surat, para ulama Tafsir sepakat, semata-mata untuk
tabarruk.
2. Apakah
hukum membaca Basmalah di dalam sholat?
Ada beberapa
pendapat di kalangan para Fuqaha mengenai hukum membaca Basmalah dalam sholat;
A. Imam Maliki melarang membacanya dalam tiap-tiap
sholat fardhu, baik jahr maupun sir. Tidak dalam surat al Fatihah maupun
surat-surat lainnya. Ia hanya membolehkan membacanya dalam sholat sunnah.
B. Imam Abu Hanifah membolehkan membaca Basmalah
secara sir dalam tiap surat al Fatihah yang dibaca setiap rakaat. Jika Basmalah
juga dibaca sebelum membaca surat-surat yang lain, itu lebih baik.
C. Imam Syafi’i berkata; Basmalah wajib dibaca oleh
setiap musholli, baik secara jahr maupun sir.
D. Imam Ahmad ibn Hanbal; Hendaklah dibaca sir dan
tidak disunnahkan dibaca jahr.
Sumber dari
perbedaan pendapat ini adalah perbedaan sebelumnya, tentang apakah Basmalah
bagian ayat dari al Fatihah dan tiap-tiap surat lainnya. Serta beberapa
pendapat dari kalangan ulama.
Ibn al Jauzi
berkata dalam kitabnya, ‘Zaadul Masiir’: “Para ulama berbeda pendapat tentang
Basmalah, apakah termasuk bagian ayat al Fatihah dan surat-surat lainnya atau
tidak? Imam Ahmad memiliki dua pendapat; Orang yang berkata bahwa Basmalah
merupakan bagian dari al Fatihah, maka ia wajib dibaca dalam sholat bersama
Fatihah. Sedangkan yang mengatakan tidak termasuk, maka membacanya bersama
fatihah hukumnya sunnah. Imam Maliki tidak mensunnahkan membacanya.”
Mereka juga
berbeda pendapat tentang membacanya secara jahr. Sebagian jamaah menukil dari
pendapat Imam Ahmad; Tidak disunnahkan membacanya secara jahr. Ini merupakan
pendapat Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibn Mas’ud, Madzhab ats Tsauri, Malik,
dan Abu Hanifah.
Madzhab
Syafii berpendapat bahwa membacanya secara jahr disunnahkan. Pendapat ini
diriwayatkan dari Mu’awiyah, ‘Atho’, dan Thowus.
3. Wajibkah
membaca al Fatihah dalam sholat?
Dalam hal
ini terdapat dua Madzhab yang berbeda pendapat;
a). Madzhab
Jumhur (Malik, Syafii, Ahmad): Membaca surat Fatihah adalah syarat sahnya
sholat. Barangsiapa meninggalkannya padahal ia mampu membacanya, maka sholatnya
tidak sah.
Dalil Jumhur
Ulama;
Dalil yang
menjadi dasar kewajibannya;
1. Hadits Ubbadah ibn as Shomit dari Rasulullah saw;
لاَ صَلاَةَ
لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada
sholat bagi orang tidak membaca al Fatihah.” (HR As Sittah tanpa Maliki)
2. Hadits Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda;
مَنْ صَلَّى
صَلاَةً لَمْ يُقْرَأْ فِيْهَا بِأُمِّ الْكِتَابِ فَهِىَ خِدَاجٌ، فَهِىَ خِدَاجٌ،
فَهِىَ خِدَاجٌ غَيْرَ تَمَامٍ
“Barangsiapa
sholat tanpa membaca Ummul Kitab, maka sholatnya berkurang, maka sholatnya
berkurang, maka sholatnya berkurang, tidak sempurna.” (HR Malik, Turmidzi, dan
Nasa-i)
3. Hadits Abu Sa’ied al Khudry;
أُمِرْنَا
أَنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ
“Kami
diperintahkan untuk membaca al Fatihah (dalam sholat) dan (surat-surat) yang
mudah.” (HR Abu Daud dengan isnad shohih)
b). Madzhab ats Tsaury dan Abu Hanifah; Sholat tetap
mendapat pahala sekalipun didalamnya tidak dibaca al Fatihah. Sholatnya tidak
rusak namun terdapat cela. Yang wajib dibaca secara mutlak adalah ayat pendek
atau panjang.
Dalil
Hanafiah:
Ats Tsaury dan para Fuqaha Hanafiah
melandaskan pendapatnya pada dalil-dalil al Qur’an dan as Sunnah, a.l.;
Al Qur’an;
Allah berfirman dalam surat al Muzammil 20; (فَاقْرَؤُوْا مَاتَيَسَّرَ
مِنَ الْقُرْآنِ)Mereka berkata; Ayat di atas menunjukkan bahwa
yang wajib dibaca adalah semua surat yang mudah dibaca dari al Qur’an.
Dikatakan demikian, karena ayat ini mengacu pada perintah membaca dalam sholat;
(إِنَّ رَبَّكَ
يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُوْمُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَىِ اللَّيْلِ... فَاقْرَؤُوْا مَاتَيَسَّرَ
مِنَ الْقُرْآنِ) Ayat ini memang menunjuk pada sholat
malam, namun bagi kami berlaku secara umum, baik sholat sunnah maupun wajib.
As Sunnah;
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa ada seorang lelaki memasuki masjid dan
sholat. Kemudian dia mendatangi Rasulullah saw dan memberi salam. Rasulullah
menjawab salamnya sembari bersabda; “Kembalilah dan sholatlah, sesunguhnya
engkau belum sholat.” Lelaki itu kembali sholat, kemudian kembali mendatangi
Nabi. Namun Rasulullah kembali menyuruh lelaki itu mengulang sholatnya, sampai
terulang tiga kali berturut-turut. Lelaki itu berkata kepada Rasulullah; “Demi
yang Mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak bisa melaksanakan yang lebih baik
daripada ini.” Rasulullah saw bersabda;
إِذَا قُمْتَ
إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ،
ثُمَّ اقْرَاْ مَاتَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
سَاجِدًا، ثُمَّ ارْتَفِعْ حَتَّى تَسْتَوِى قَائِمًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ
كُلِّهَا
“Jika engkau
berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu’, menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah,
bacalah ayat yang mudah kamu baca dari al Qur’an, kemudian rukuklah dengan
sempurna dan thumakninah, I’tidallah hingga berdiri sempurna, sujudlah dengan
sempurna dan thumakninah, angkat dan duduklah dengan thumakninah, lalu sujudlah
dengan sempurna dengan thumakninah, kemudian angkatlah hingga berdiri sempurna.
Lakukanlah semua gerakan itu dalam sholatmu.”
Mereka
berkata; Hadits Abu Hurairah di atas menunjukkan bahwa Rasulullah memberikan
pilihan untuk membaca surat apapun yang mudah dibaca oleh orang yang shalat.
Adapun
hadits Ubbadah ibn as Shamit lebih mengacu pada ketidak-sempurnaan shalat tanpa
membaca al Fatihah. Mereka memahami hadits tersebut dengan, “Tidak sempurna
sholat seseorang yang didalamnya tidak dibaca al Fatihah.” Karena itu mereka
menganggap hukum sholatnya sah, hanya tidak disukai. Hadits tersebut sama
dengan hadits;
لاَ صَلاَةَ
لِجِوَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
“Tidak ada
sholat bagi orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid.”
Sedangkan
hadits Abu Hurairah; “sholatnya berkurang….” menunjukkan bahwa sholat seseorang
hukumnya sah sekalipun kurang sempurna.
Di sini bisa
kita simpulkan, bahwa pendapat Jumhur Ulama dalilnya lebih kuat dan lebih
lurus. Bahwa Rasulullah saw mewajibkan untuk membaca al Fatihah, baik pada
sholat fardhu maupun sunnah. Sholat tidak akan diberi pahala tanpa membacanya.
Adapun dalil
yang memperkuat pendapat Jumhur Ulama adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Abi Qatadah, ia berkata;
كَانَ رَسُوْلُ
الله صلعم يُصَلِّى بِنَا فَيَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ
الأُولَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُوْرَتَيْنِ
وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ أَحْيَانًا، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِى الرَّكغَةِ الأُوْلَى مِنَ
الظُّهْرِ، وَيُقَصِّرُ الثَّانِيَةَ، وَكَذَلِكَ فِى الصُّبْحِ
“Rasulullah
saw mendirikan sholat bersama kami. Pada sholat Zhuhur dan Ashar beliau membaca
al Fatihah dan dua surat pada dua rakaat pertamanya. Kadang beliau
memperdengarkan ayat kepada kami. Beliau memperpanjang bacaan pada rakaat
pertama sholat Zhuhur dan memendekkan rakaat yang kedua. Demikian pula dengan
sholat Shubuh.”
Dalam
riwayat yang lain dinyatakan; “Dan beliau (hanya) membaca surat al Fatihah pada
dua rakaat terakhir.”
At
Thabary berkata; “Ummul Qur’an harus dibaca pada setiap rakaat. Kalau tidak,
harus mengganti dengan bacaan al Qur’an yang semisal dengannya, baik dari segi
jumlah ayat maupun hurufnya.”
Al Qurthubi
berkata; “Yang paling benar dari pendapat di atas adalah pendapat as Syafii,
Ahmad, dan Malik dalam pendapat terakhir. Al Fatihah harus dibaca pada setiap
rakaat sholat, sesuai dengan sabda beliau; {لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ}. Begitu pula dengan hadits yang
diriwayatkan dari Umar ibn Khotthob, Abdullah ibn Abbas, Abu Hurairah, Ubay ibn
Ka’ab, Abu Ayyub an Anshary, Ubbadah ibn as Shamit, dan Abi Sa’ied al Khudry,
bahwa mereka berkata; {لاَ صَلاَةَ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ}
Pendapat
senada dikemukakan Imam al Fakhrurrazi; Bahwa Rasulullah saw sepanjang hidupnya
selalu membaca al Fatihah dalam setiap rakaat shalatnya. Bagi para ulama
hendaklah mengikuti perbuatannya. وَاتَّبِعُوْهُ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
4. Apakah Makmum di belakang Imam juga harus membaca
al Fatihah?
Para Ulama
Madzhab sepakat bahwa jika seorang Makmum mendapati Imam sudah ruku’,
diperkenankan baginya untuk tidak membaca al Fatihah dan langsung mengikuti
gerakannya. Mereka sepakat bahwa bacaan Fatihah atas Makmum masbuq gugur dengan
ruku’nya Imam.
Namun
bagaimana bila Makmum mendapati Imam masih berdiri, apakah ia harus membaca
Fatihah di belakangnya, atau bacaan Imam sudah cukup baginya? Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat;
a. Imam Syafii dan Ahmad tetap mewajibkan Makmum untuk
membaca al Fatihah di belakang Imam, baik dalam shalat sir atau jahr.
Imam Syafii
dan Imam Ahmad ibn Hanbal berdalil pada dalil terdahulu; {لاَ صَلاَةَ
إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ} Lafazh hadits ini bersifat umum, mencakup
Imam dan Makmum sekaligus.
b. Imam Malik; Jika shalat itu sir, Makmum wajib
membaca al Fatihah di belakang Imam. Namun dalam shalat jahr, tidak perlu
membacanya.
Imam Malik
juga mendalilkan pendapatnya pada hadits terdahulu. Ia melarang Makmum membaca
Fatihah apabila shalat itu jahriyah dengan dalil ayat 204 al A’raf;
(وَإِذَا
قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ)
Imam
Qurthubi menukil dari Imam Malik bahwa seorang musholli tidak perlu membaca
ayat apapun dari al Qur’an di belakang Imam pada shalat jahriyah. Namun pada
shalat sirriyah, hendaklah membaca Fatihah. Jika meninggalkannya, shalatnya
cacat, namun tetap sah.
Abu Hanifah;
Seorang Makmum tidak wajib membaca Fatihah di belakang Imam, baik dalam shalat
jahriyah maupun sirriyah.
Imam Abu
Hanifah melarang Mamum membaca Fatihah di belakang Imam secara mutlak, sebagai
implementasi dari ayat; (وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ) dan hadits Rasulullah saw;
مَنْ كَانَ
لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ
“Barangsiapa
memiliki Imam, maka bacaan Imam adalah bacaan baginya.” (HR Ibn Abi Syaibah
dari Abu Hurairah)
Beliau juga
berdalil pada yang diriwayatkan dari Nabi saw;
إِنَّمَا
جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا
“Sesungguhnya seseorang ditunjuk Imam untuk diikuti. Apabila ia
bertakbir, bertakbirlah, dan apabila ia membaca, maka dengarkanlah.” (HR Abdu
ibn Hamid dari Jabir ra).