Anjuran Menikah dan Peringatan Tentang Pelacuran;
}وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (32) وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ
لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ
يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ
عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَلا
تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا
عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ
إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (33) وَلَقَدْ أَنزلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ
مُبَيِّنَاتٍ وَمَثَلا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً
لِلْمُتَّقِينَ (34){
SURAT AN NUR : 32 - 34
32. Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
33. Dan orang-orang yang tidak mampu
kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka
dengan karunia-Nya, dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan
perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta
Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian,
karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada
mereka) sesudah mereka dipaksa itu.
34. Dan sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh
dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang
yang bertakwa.
MAKNA
GLOBAL:
Makna ayat di atas, Allah SWT berfirman; “Wahai
orang-orang beriman, kalian nikahkanlah orang yang belum memiliki pasangan
dengan lelaki dan wanita terhormat di antara kalian atau dengan para hamba
sahaya yang baik dan anak yang berada dalam asuhan kalian. Jika di antara
mereka ada yang miskin, Allah akan memberikan kekakayaan dan kemuliaan kepada
mereka. Janganlah kemiskinan menghalangi kalian untuk menikahkan mereka.”
Kemudian Allah memerintahkan para remaja yang tidak
memiliki kemampuan untuk menikah –karena ketiadaan materi maupun halangan
sosial– untuk memelihara dirinya dari perbuatan keji (zina) dan dari segala hal
yang diharamkan-Nya. Ia akan selalu memberi kemudahan dan jalan keluar kepada
orang yang bertakwa, at Tholaq: 4;
( وَمَنْ
يّتَّقِى اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا )
Allah memerintahkan untuk menerima dan menulis perjanjian
apabila seorang hamba sahaya ingin membebaskan dirinya dari belenggu perbudakan
dengan menebus dirinya dengan sejumlah uang.
Allah juga melarang pihak majikan untuk menjadikan mereka
sebagai pelacur demi meraup keuntungan harta duniawi. Untuk itu Allah mengancam
setiap pelakunya dengan azab yang pedih dan memberikan ampunan bagi hamba yang dipaksa
melacurkan diri.
Allah
menurunkan ayat yang jelas dan terperinci lengkap dengan berbagai perumpamaan umat-umat
di masa lalu, sebagai landasan untuk berjalan di atasnya, Hud:117.
( وَمَا
كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ )
Baca juga: Bagian-bagian Kalimat dalam Bahasa Arab; Terjemah kitab An Nahwul Wadhih
SEBAB
TURUNNYA AYAT INI (SABABUN NUZUL):
1. Diriwayatkan dari as Suyuthi dari Abdullah ibn Shubaih
dari ayahnya, ia berkata; “Saya menjadi hamba sahaya Huwaithib ibn Abdi ‘Izzy.
Saya memintanya untuk membuat surat pembebasan atas diriku, namun ia menolak
untuk memberikannya. Lalu turunlah ayat ini;
( وَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ
مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمٰنُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ )
Al
Qurthubi berkata; “Setelah Huwaithib mendengar turunnya ayat di atas, ia segera
menulis surat pembebasan atas hamba sahayanya tersebut senilai 100 Dinar, dan
memberikan sebagian kepadanya, sebesar 20 Dinar. Huwaithib meninggal terbunuh
pada perang Hunain.
2. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shohihnya dari Jabir
ibn Abdillah; “Bahwa hamba sahaya wanita Abdullah ibn Ubay, yang dikenal dengan
nama, Musaikah dan yang lainnya bernama, Umaimah, keduanya dipaksa untuk
melakukan zina. Dua hamba sahaya tersebut mengadu kepada Rasulullah saw, lalu
Allah menurunkan ayat;
( وَلاَ تُكْرِهُوْا
فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَآءِ )
Diriwayatkan
bahwa Abdullah ibn Ubai ibn Salul memaksa keduanya untuk melakukan zina sambil
memukulnya. Salah seorang di antara keduanya berkata;
“Jika beruntung, perbuatan ini memang akan
mendatangkan banyak uang untuk kami. Namun jika sial, akan butuh waktu sangat
panjang bagi kami untuk keluar dari kenistaan ini.” Lalu turunlah ayat di atas.
3. Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Mujahid, bahwa ia
berkata; “Mereka (orang-orang Jahiliyah) memerintahkan anak-anak perempuan
mereka untuk melacur, kemudian hasil jerih payahnya diserahkan kepada mereka.
Abdullah ibn Ubay ibn Salul juga memaksa hamba sahaya wanitanya untuk melacur,
tapi keduanya menolak. Bahkan bersumpah untuk tidak melakukannya. Namun
keluarganya juga ikut memaksa, hingga ia berangkat melacur dalam cuaca yang
sangat dingin. Kemudian kembali membawa hasil kepada majikannya. Lalu turunlah
ayat;
( وَلاَ
تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَآءِ )
Al Muqotil berkata; “Ayat ini turun
berkenaan dengan enam hamba sahaya wanita (jaariyah) milik Abdullah ibn Ubay
ibn Salul (Ma’aadzah, Musaikah, Umaimah, Qutailah, ‘Amroh, dan Arwy). Ia
memerintahkan mereka untuk melacur untuk mendapatkan sejumlah uang. Semua
riwayat yang ada menyebutkan, bahwa yang melakukan pemaksaan terhadap mereka
adalah Pemuka Tokoh Munafiq, Abdullah ibn Ubay ibn Salul.
URAIAN
TAFSIR (LATHOIF TAFSIR) :
1. Firman Allah; ﴿ وَ الصَّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْۚ ﴾ mengandung
isyarat bahwa yang membuat manusia bernilai adalah kebaikan dan ketakwaannya.
Harta dan kedudukan tidak akan membuat manusia menjadi mulia. Kemuliaan mereka
terletak pada agama dan kebaikan yang dilakukannya. Sesuai dengan firman
Allah;( وَالْعَاقِبَةُ
لِلْمُتَّقِيْنَ )
Az
Zamakhsyari berkata; “Jika Anda bertanya; “Mengapa dikhususkan untuk
orang-orang shalih?.” Saya jawab; “Keshalihan itu akan memelihara agama dan
kepribadian mereka. Orang shalih dalam ayat di atas adalah hamba sahaya yang
dikasihi oleh majikan mereka lantaran keluhuran budi mereka. Karena itu
kedudukan mereka bisa setara dengan anak kandung bagi majikannya.”
2. Firman Allah; ( إِنْ يَكُوْنُوْا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ
اللهُ مِنْ فَضْلِهِۗ ) mengandung
janji-Nya untuk mencukupi setiap orang yang menempuh jalan pernikahan demi
memelihara kebersihan dirinya. Para sahabat sangat memahami ayat ini, hingga
Abu Bakar as Shiddiq berkata; “Ta’atlah kepada Allah dengan melaksanakan
perintah nikah-Nya, Dia akan memenuhi janji-Nya untuk memberikan kecukupan
kepada kalian.” Umar ibn Khotthob dan Ibn Abbas berkata; “Carilah rizki dengan
menikah.”
Jika ada
yang berkata; “Kami banyak melihat orang fakir yang menikah, namun mereka tetap
dalam kefakirannya. Bahkan kami melihat ada orang kaya, ketika menikah menjadi
fakir.”
Kita jawab;
“Firman Allah di atas sangat terkait dengan kehendak-Nya. Perhatikan firman
Allah, at Taubah 28;(فَسَوْفً
يُغْنِيْكُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ) Rahasianya
terletak pada akhir ayat; (وَاللهُ
وَاسِعٌ عَلِيْمٌ) bukan lafazh; {وَاسِعٌ كَرِيْمٌ} Hikmahnya,
bahwa Allah Mengetahui apa yang menjadi kemaslahatan bagi hamba-Nya, hingga Ia
melapangkannya. Begitu pula sebaliknya.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits Qudsi;
إِنَّ مِنْ عِبَادِى
مَنْ لاَ يَصْلُحُهُ إِلاَّ الْفَقْرَ وَلَوْ أَغْنَيْتُهُ لَفَسَدَ حَالُهُ...
“Sesungguhnya di antara
hamba-hamba-Ku, ada yang tidak ada sesuatu pun yang maslahat baginya kecuali
kefakiran. Seandainya Aku mengkayakannya, pasti kondisinya akan rusak…”
Adapun yang melekat dalam opini masyarakat
kebanyakan, bahwa banyak anak menyebabkan kefakiran, tanpa anak dapat banyak
harta. Allah berfirman, at Tholaq 2-3;
(وَمَنْ يَتَّقِى اللهَ يَجْعَلْ لَهُ
مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ)
3. Firman Allah; ( وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لاَ
يَجِدُوْنَ نِكَاحًا ) Allah mengajak para pemuda yang belum
memiliki kemampuan menikah untuk menjaga kesucian dirinya.
4. Firman Allah; ( وَءَاتُوْهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ ) mengandung
isyarat halus, bahwa harta yang di ada tangan orang-orang kaya adalah harta
Allah yang dititipkan kepada mereka agar dipergunakan untuk kebaikan. Al
Hadid:7; (أَنْفِقُوْا مِمَّا
جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ)
Dengan demikian, orang kaya bukanlah orang
yang memiliki harta secara hakiki, tapi orang yang diberi amanah untuk
menggunakannya sesuai tuntunan syariat.
5. Firman Allah; ( إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا ) Kalimat ini
mengandung celaan terhadap majikan yang seharusnya meluruskan kalau hamba
sahayanya melakukan hal yang buruk, bukan malah menjerumuskan.
6. Firman Allah; ( لِتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيَٰوةِ
الدُّنْيَاۚ ) mengandung
isyarat, betapa bejatnya perilaku para majikan dimaksud.
7. Firman Allah: ( فَإِنَّ اللهَ مِنْ بَعْدِ
إِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ ) merupakan ampunan yang dijanjikan Allah
untuk hamba sahaya yang dipaksa melakukan pelacuran. Imam Hasan al Bashri
setiap kali membaca ayat ini berkata; “Demi Allah, ampunan itu untuk mereka…
ampunan itu untuk mereka.” Mengenai pengampunan untuk mereka, Imam Abu Sa’ud
mensyaratkan adanya taubat dari yang bersangkutan.
HUKUM-HUKUM
SYARI’AT:
1.
Siapakah
yang menjadi khitob (lawan bicara) ayat ini?
Sebagian
ulama mengatakan, bahwa khithobnya adalah seluruh umat, agar menikahkan kaum
lelaki dan perempuan merdeka yang belum memiliki pasangan. Sebagian yang lain
mengatakan; khithobnya adalah para wali dan majikan yang memiliki kuasa atas
anak dan hamba sahaya. Yang lain mengatakan; Khitobnya adalah para bapak yang
mempunyai hak menyuruh menikah.
Menurut al
Qurtuby; “Di antara pendapat di atas, pendapat yang benar adalah yang pertama.
Bahwa umat memiliki tanggung jawab untuk memudahkan segala hal yang berkenaan
dengan pernak pernik pernikahan. Dengan menghilangkan berbagai persyaratan yang
sulit dilaksanakan. Karena pernikahan adalah jalan menuju kebersihan dan
kehormatan diri.”
Rasulullah saw bersabda;
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ
تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ
فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Jika datang kepadamu seseorang yang engkau
sukai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak engkau lakukan,
akan terjadi fitnah dan kerusakan fatal di muka bumi.”
2.
Menikah
hukumnya wajib atau sunnah?
Para ulama
berbeda pendapat mengenai hukum pernikahan;
a. Madzhab Zhahiriyah; Menikah hukumnya wajib, yang tidak
melakukannya berdosa.
Dalil Zhahiriyah; Karena sighat (bentuk) kalimat di atas
menggunakan kata perintah ( وَأَنْكِحُوْا), dan setiap
perintah adalah wajib. Pernikahan adalah jalan menuju kebersihan diri dari
segala yang haram. Ketika sesuatu yang wajib tidak bisa disempurnakan kecuali
dengan sesuatu yang sunnah, maka yang sunnah adalah wajib. Dengan demikian,
yang meninggalkannya berdosa.
b. Madzhab Jumhur (Maliki, Hanbali, dan Hanafi); Menikah
hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan, bukan wajib.
Dalil Jumhur;
Jumhur menyandarkan dalilnya pada para Ulama Salaf dan Fuqaha Mesir;
Jika menikah dianggap wajib, pasti penukilan dalil dari
Nabi saw maupun para Ulama Salaf akan tersebar luas dan tidak ada seorang pun
pada masa beliau yang tidak menikah. Namun pada masa Nabi dan masa-masa
sesudahnya banyak sahabat (laki-laki dan wanita) yang tidak menikah namun Nabi
membiarkannya.
Jika pernikahan hukumnya wajib, niscaya para wali akan
memaksa anak-anaknya yang janda untuk menikah kembali. Rasulullah saw bersabda;
“Tidaklah seorang janda dinikahkan, hingga ia merasa ridho.”
Al Jasshos berkata; Yang menunjukkan bahwa menikah
hukumnya sunnah, adalah seorang majikan tidak boleh memaksa untuk menikahi
hamba sahayanya. Kondisi hamba sahaya bisa dinisbatkan pada lafazh (الأَيَامَى)
Al Jasshos berkata; Yang menunjukkan bahwa menikah
hukumnya sunnah, adalah seorang majikan tidak boleh memaksa untuk menikahi
hamba sahayanya. Kondisi hamba sahaya bisa dinisbatkan pada lafazh (الأَيَامَى)
Sabda Rasulullah saw;
مَنْ أَحَبَّ
فِطْرَتِي فَلْيَسْتَنُّ بِسُنَّتِى وَإِنَّ مِنْ سُنَّتِى النِّكَاحُ
“Barangsiapa
yang menginginkan fitrahku, hendaklah mengikuti sunnahku. Di antara sunnahku
adalah menikah.”
Sabda Rasulullah saw;
تَزَوَّجُوْا
الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّى مَكَاثِرٌ بِكَمُ الأَنْبِيَاءَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Kalian
nikahilah wanita yang subur dan banyak anak, sesungguhnya kalian akan
memperbanyak umatku pada hari kiamat dibanding nabi-nabi lainnya.”
c. Madzhab Syafi’iyah; Menikah hukumnya mubah (halal), tidak
berdosa meninggalkannya.
Adapun dalil
yang dikemukakan Syafi’i; Pernikahan adalah media untuk mendapat kenikmatan dan
melampiaskan syahwat. Karenanya, ia hukumnya mubah (halal) sebagaimana makan
dan minum.
Pendapat
paling kuat di antara pendapat-pendapat di atas adalah pendapat Jumhur Ulama,
sesuai dengan sabda Rasulullah saw;
مَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
“Barangsiapa
yang tidak suka pada sunnahku, ia bukanlah golonganku.” (HR Bukhari Muslim)
Imam Al
Qurthubi berkata; “Perbedaan pendapat para ulama tentang suatu hukum seiring
dengan perbedaan kondisi masyarakat itu sendiri. Dari segi kekhawatiran
terjerumus dalam zina maupun ketidakmampuan mereka untuk bersabar. Jika
khawatir agama maupun kehidupannya akan rusak karena terjerumus zina, maka ia
menikah hampir wajib. Jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah,
pernikahan itu sunnah baginya. Jika tidak memiliki kemampuan, ia harus
memelihara kebersihan dirinya dengan berpuasa.”
3.
Bolehkah
seorang wali memaksa anak gadisnya yang sudah baligh untuk menikah?
Madzhab Syafi’iyah membolehkan untuk memaksa anak gadis yang sudah
baligh untuk menikah, tanpa harus menunggu keridhaannya. Mereka berdalil pada
ayat di atas yang bersifat umum. ( وَأَنْكِحُوْا الأَيٰمَٰى مِنْكُمْ ) Lebih lanjut
mereka berkata; Kalau tidak karena adanya dalil bahwa seorang janda tidak boleh
dinikahkan tanpa ridhonya, tentu mereka juga harus dipaksa menikah sekalipun
tanpa ridhonya.
Al Jasshos berkata; Ayat, ( وَأَنْكِحُوْا الأَيٰمَٰى مِنْكُمْ ) hukumnya
mencakup laki-laki dan perempuan. Jika seorang anak lelaki dinikahkan dengan
izinnya, maka anak perempuan juga harus diminta izinnya. Bentuk izinnya seperti
disinyalir Rasulullah saw; “Diamnya adalah izinnya.”
Demikian juga dengan hadits dari Ibn Abbas tentang seorang gadis yang
dinikahkan ayahnya tanpa meminta izin padanya. Lalu wanita itu mengadukan
halnya kepada Rasulullah saw dan beliau bersabda; “Relakanlah apa yang telah
dilakukan oleh ayahmu.” Hadits ini menunjukkan, bahwa meminta izin terlebih
dahulu adalah suatu keharusan.
4.
Bolehkah
seorang wanita berwali pada dirinya sendiri pada saat akad nikah?
Para Fuqaha Syafiiyah dan Hanabalah berpendapat bahwa perempuan tidak
boleh menikah kecuali dengan wali, sesuai dengan zhahir ayat; ( وَأَنْكِحُوْا الأَيٰمَٰى ) dan al
Baqarah 221; ( وَلاَ
تُنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْاۚ )
Karena yang menjadi khithob dua ayat di atas adalah kaum lelaki,
bukan wanita. Tujuannya, agar maksud
dari akad pernikahan itu lebih sempurna.
Menurut pendapat saya; “Pendapat
di atas adalah pendapat yang paling benar dan kebanyakan ahli ilmu condong
kepadanya.
Namun yang
perlu ditegaskan adalah bahwa khithob dari ayat di atas bersifat umum untuk
seluruh manusia, tidak hanya terbatas kepada wali. Artinya Allah SWT
mensunnahkan kaum muslimin untuk mengulurkan bantuan melapangkan pelaksanaan
pernikahan. Rasulullah saw bersabda;
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ
بِوَلِىٍّ
“Tidak ada
pernikahan kecuali dengan wali.”(HR Ahmad, Abu Daud, Turmudzi)
أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya
bathil.” (HR Turmudzi, Ibn Majah dari Aisyah).”
Al Always sependapat dengan pendapat di atas.
5.
Bolehkah
lelaki merdeka menikah dengan wanita dari kalangan hamba sahaya?
Madzhab Hanafiah membolehkannya secara mutlak, sesuai dengan ayat di
atas; ( وَأَنْكِحُوْا الأَيٰمَٰى
مِنْكُمْ ) karena cakupan hukumnya bersifat umum.
Namun Madzhab Syafiiyah tidak membolehkannya, karena cakupan ayat di atas
bersifat khusus. Yakni baru dibolehkan apabila tidak memiliki kemampuan
menikahi wanita merdeka.
6.
Bolehkah
seorang majikan memaksa hamba sahayanya (lelaki/wanita) untuk menikah?
Ayat; ( وَ الصَّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَآئِكُمْۚ ) menunjukkan
bahwa seorang majikan boleh menikahkan hamba sahayanya tanpa harus meminta
ridhonya. Seorang budak juga tidak boleh menikah tanpa seizin manjikannya.
Karena majikan masih memiliki hak atasnya. Rasulullah saw bersabda;
أَيَُمَا عَبْدٍ
تَزَوَّجَ بِغَيْرِِ إِذْنِ مَوَالِيْهِ فَهُوَ عَاهِرٌ
“Tidaklah seorang hamba menikah tanpa seizin majikannya, maka ia sama
dengan berzina (melacur).”
Al Qurthubi; “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa seorang majikan boleh
memaksa hamba sahayanya untuk menikah. Ini adalah pendapat Maliki, Abu Hanifah,
dan ulama-ulama lainnya. Sedangkan Madzhab Syafii menegaskan, tidak boleh memaksa hamba sahaya untuk
menikah kecuali dengan izinnya. An Nakho’i mengatakan; Mereka memaksa para hamba
sahayanya untuk menikah dan menutup pintu untuk mereka.
Madzhab Syafii beralasan; Bahwa hamba sahaya memiliki hak sempurna atas
dirinya sebagaimana manusia lainnya. Adapun kepemilikan atas dirinya hanya
sebatas pemanfaatan tenaganya.”
7.
Apakah pasangan
suami isteri boleh dipisahkan lantaran terdapat kesulitan (ekonomi)?
Ayat; ( إِنْ
يَكُوْنُوْا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِۗ ) dijadikan
landasan oleh para ulama bahwa tidak boleh membubarkan pernikahan hanya
lantaran ketidakmampuan memberi nafkah.
Imam an Naqqasy; “Ayat ini menjadi landasan kuat bagi para Qadhi untuk
tidak membubarkan ikatan pernikahan lantaran sang suami tidak mampu memberi
nafkah.”
Al Qurthubi; “Ayat di atas tidak menjadi hukum atas orang yang tidak
mampu memberi nafkah, namun ia adalah janji Allah untuk mengkayakan orang yang
menikah dalam keadaan faqir. Adapun bagi orang yang menikah dalam keadaan mampu
kemudian tidak mampu untuk memberi nafkah, maka keduanya boleh dipisahkan.
Sesuai firman Allah, an Nisa 130; (وَإِنْ يَّتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ
كُلاًّ مِنْ سَعَتِهِ)
Pernah suatu ketika datang seorang wanita menghibahkan dirinya kepada
Rasulullah untuk dinikahi. Wanita itu datang kepada seorang lelaki yang tidak
memiliki sesuatu kecuali satu sarung. Pernikahan Nabi ini tidak serta merta
rusak lantaran ketidakmampuan beliau dalam memberi nafkah, karena dia yang
datang kepada beliau.
Namun jika seseorang menikah dalam keadaan lapang (kaya) kemudian dalam
perjalanan waktu tidak mampu memberikan nafkah, diperkenankan untuk berpisah,
karena tidak ada kesabaran dalam kondisi lapar.”
Menurut pendapat saya; “Tujuan dari ayat di atas adalah disunnahkan bagi
seorang wali untuk tidak menolak lamaran seorang pemuda sholeh, cakap, dan
berakhlak sekalipun faqir. Karena Allah menjanjikan kemampuan untuknya.
Rasulullah saw bersabda;
ثَلاَثَةٌ حَقَّ
عَلَي اللهِ عَوْنُهُمْ: النَّاكِحُ يُرِيْدُ الْعَفَاف، وَالْمُكَاتِبُ يُرِيْدُ
الأَدَءِ، وَالْغَازِى فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Ada tiga
golongan, Allah haq memberikan pertolongan; Orang yang menikah untuk menjaga
kesucian, orang yang membuat perjanjian dan ingin memenuhinya, orang yang
berperang di jalan Allah.” (HR Turmudzi, Nasa-i, dan Ibn Majah)
8.
Apa hukum
Nikah Mut’ah?
Sebagian ulama menjadikan ayat; ( وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ يَجِدُوْنَ
نِكَاحًا ) sebagai dalil batilnya Nikah Mut’ah.
Karena hakikat nikah adalah menjaga kesucian.
9.
Wajibkah
membuat perjanjian (mukatabah) untuk hamba sahaya?
Makna Mukatabah secara syariat; Seorang majikan menulis surat perjanjian
pembebasan hamba sahayanya dengan sejumlah uang. Jika si hamba sahaya
memenuhinya, maka ia merdeka. Dalam hal perjanjian ini terdapat dua keadaan;
Hamba sahaya yang meminta dan majikan mengabulkannya,
sebagaimana disinyalir ayat; ( وَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ )
Hamba sahaya yang meminta dan majikan menolaknya. Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat;
Madzhab Zhahiriyah; Sang majikan wajib menulis surat
perjanjian pembebasan jika hamba sahaya mengajukan permintaan.
Dalil
Zhahiriyah;
Dari ayat; ( فَكَاتِبُوْهُمْ ) secara
zhahir menggunakan kata perintah dan setiap perintah adalah wajib. Di samping
itu asbab yang menjadi penyebab turunnya ayat ini, Huwaithib ibn Abdil ‘Izzi.
Dari Atsar, yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik, ia
berkata; “Sirien mengajukan perjanjian pembebasan padaku, namun aku menolaknya.
Lalu ia mendatangi Umar ibn Khotthob memberitahukan halnya. Lalu Umar
mendatangiku membawa air susu dan membaca ayat; ( فَكَاتِبُوْهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ
فِيْهِمْ خَيْرًاۖ ). Lalu Anas
menulis perjanjian pembebasan untuknya.
Imam Daud az
Zhahiri; Jika tidak wajib, Umar tidak mungkin mengangkat susu itu kepada Anas.”
Madzhab ini menukil pendapatnya dari sebagian Tabi’in, seperti ‘Atho, ‘Ikrimah,
Masruq, dan ad Dhohhak ibn Muzahim.
Madzhab Jumhur Fuqaha; Majikan tidak wajib menulis surat
perjanjian pembebasan, hanya
disunnahkan.
Dalil Jumhur
(Malikiyah, Hanafiah, Syafiiyah, Hanabalah);
Dalam ayat; ( فَكَاتِبُوْهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ
فِيْهِمْ خَيْرًاۖ ) Allah
mengikat perintah-Nya dengan; “jika kalian tahu ada kebaikan pada mereka.”
Hadits; {لاَيَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
إِلاَّ بِطَيِّبٍ مِنْ نَفْسِهِ} (Harta seorang muslim tidak halal kecuali
dengankebaikan yang keluar dari dirinya). Hamba sahaya adalah “harta”
majikannya.
Mereka juga melandaskan pada Ijma’ Ulama, jika seorang
hamba sahaya mengajukan perjanjian pembebasan, majikannya tinggal menjualnya.
Menurut
pendapat kami, pendapat Jumhur yang paling benar, hukumnya sunnah. Kalaupun
Umar ibn Khotthob melakukan hal dimaksud, itu lantaran ia cenderung
memerintahkan kepada yang lebih afdhal.
10. Siapakah yang diperintahkan untuk memberikan harta dalam
ayat di atas? Berapa besarnya?
Para Ulama
berbeda pendapat tentang siapa yang diperintahkan dalam ayat; ( وَءَاتُوْهُمْ مِنْ
مَالِ اللهِ الَّذِى ءَاتٰكُمْۚ ) dalam dua
pendapat;
Yang diperintah adalah orang-orang kaya yang wajib zakat.
Mereka harus memberikan bagian hamba sahaya dari uang zakat, sebagaiamana yang
diriwayatkan oleh Atho’ dari Ibn Abbas.
Yang diperintahkan adalah para majikan untuk memberikan
sebagian dari harta tebusan yang diterima. Sesuai dengan konteks ayat, pendapat
inilah yang paling benar.
Al Qurthubi;
“Perintah itu untuk para majikan. Entah uang itu diambil dari sakunya sendiri
atau diambil sebagian dari uang tebusan.”
Para Fuqaha
berbeda pendapat, apakah pemberian itu wajib? Berapa besarannya? Dalam hal ini
ada dua Madzhab;
Madzhab Syafiiyah dan Hanabalah; Hukumnya wajib. Menurut
Imam Ahmad; Besarannya seperempat dari uang tebusan. As Syafii; Tidak terbatas, tergantung pada
pokok harta yang ada.
Alasan
Syafiiyah;
Zhahir ayat; ( وَءَاتُوْهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ ) adalah untuk
perintah, dan setiap perintah hukumnya wajib.
Mereka berdalil pada riwayat bahwa Umar ibn Khotthob
menulis perjanjian pembebasan seorang anak yang biasa dipanggil Abu Umayyah.
Lalu ia datang menemuinya dengan membawa cicilannya. Umar berkata; “Pergilah
dan manfaatkan uang itu dalam pengurusan
surat perjanjianmu.” Ia berkata; “Ya Amirul Mukminin, atau aku akan
menangguhkannya hingga akhir cicilan?.” Umar berkata; “Saya takut tidak
mengetahui akhir cicilan itu. Kemudian ia membaca; ( وَءَاتُوْهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ ).” Ikrimah
berkata; “Ini adalah cicilan (kredit) pertama yang diterapkan dalam Islam.”
Madzhab Malikiyah dan Hanafiah; Hukumnya Sunnah.
Dalil Malikiyah
dan Hanafiyah;
Menurut mereka; Jika perintah menulis perjanjian adalah
sunnah, bagaimana mungkin memberikan sebagian tebusan hukumnya bisa wajib?
Dalam ayat di atas terdapat dua perintah (فَكَاتِبُوْهُمْ) dan (آتُوْهُمْ), yang berarti
keduanya bisa menjadi wajib atau sunnah.
Ibn Araby
berkata; “Kalau Madzhab Syafii mengatakan bahwa memberikan sebagian harta dalam
konteks ini adalah wajib, kemudian menulis perjanjian juga wajib, ini adalah pendapat yang sangat baik.
Namun jika dikatakan bahwa menulis perjanjian tidak dianjurkan, sementara
memberikan sebagian harta adalah wajib. Berarti mereka telah menjadikan pokok
sebagai wajib, sedangkan cabangnya sebagai sunnah. Dengan demikian, dakwah ini
hanya sebatas anjuran.”
Mereka juga berdalil pada hadits;
أَيُّمَا عَبْدٍ
كَاتَبَ عَلَى مِائَةِ أُوقِيَةٍ فَأَدَّاهَا إِلاَّ عَشْرَ أُوَاقٍ فَهُوَ عَبْدٌ
“Tidaklah
seorang budak yang ditulis atasnya perjanjian (pembebasan) sebesar 100 Uqiyah,
namun ia hanya bisa memenuhi 10 Uqiyah, maka statusnya tetap hamba sahaya.”
Jika pemberian
itu hukumnya wajib, tentu budak itu merdeka dengan sejumlah uang yang mampu
dibayarkannya.
Mereka juga
berdalil pada riwayat Aisyah ketika Barirah datang meminta bantuannya untuk
melaksanakan surat perjanjian atas dirinya. Aisyah berkata kepadanya; “Jika
keluargamu suka, semua tebusan itu akan kuberikan kepada mereka dan budakmu ini
menjadi milikku.” Namun keluarganya menolak. Kemudian Aisyah memberitahukan hal
tersebut kepada Rasulullah saw dan beliau bersabda kepada Aisyah; “Belilah dia
dan merdekakanlah. Sesungguhnya budak itu menjadi hak orang yang memerdekakan.”
Apa yang dimaksud
dengan pemaksaan? Apakah hukuman terangkat dari lelaki dan wanita yang dipaksa
(melacur)?
Firman Allah; (
وَلاَ تُكْرِهُوْا
فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَآءِ ...) mengisyaratkan bebasnya orang yang
dipaksa melacur dari delik hukum. Dosanya kembali kepada orang yang memaksa.
Pemaksaan
adalah tekanan yang dilakukan kepada seseorang agar mau melakukan suatu
perbuatan yang diperintahkan. Biasanya diiringi upaya menakut-nakuti, misalnya
akan membunuhnya atau menghilangkan salah satu anggota badannya.
Pemaksaan untuk
melakukan perzinahan sama halnya dengan pemaksaan untuk mengucapkan kata-kata
kafir dari Islam. Seperti yang disinyalir Allah SWT, an Nahl 106;
(إِلاَّ
مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطِمَئِنٌّ بِالإِيْمَانِ)
Para ulama
berbeda pendapat mengenai lelaki yang dipaksa melakukan perzinahan. Apakah
hukum juga terangkat darinya sebagaimana wanita yang dipaksa melacur?
Jumhur
Ulama; Pemaksaan dapat membuat hukum
terangkat pada seorang lelaki, sebagaimana yang berlaku pada wanita. Sama
halnya dengan terangkatnya dosa seperti yang disinyalir ayat di atas. Atau
sesuai sabda Rasulullah saw;
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِى
الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Kesalahan
telah diangkat dari ummatku, begitu pula dengan kelupaan, dan segala sesuatu
yang tidak diinginkan.” (HR Ashabus Sunan)
Madzhab Abu
Hanifah; “Untuk lelaki hukum tetap harus ditegakkan, kecuali jika ia dipaksa
oleh penguasa. Karena yang dimaksud dengan paksaan adalah tidak adanya kerelaan
untuk melakukannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa keterpaksaan itu selalu dirundung ketakutan dan
kegelisahan amat sangat. Namun ketika perbuatan dimaksud dilakukan, lalu
menimbulkan gairah dan dia menikmatinya, maka unsur paksaan menjadi hilang.
Karena itu, hukum harus ditegakkan atasnya.”
METODE
PERZINAHAN DI ZAMAN JAHILIYAH
Pelacuran yang terjadi pada zaman Jahiliyah
terdiri dari 2 model;
1) Pelacuran dalam bentuk pernikahan
Pelacuran
semacam ini biasa dilakukan oleh sebagian sahaya perempuan yang belum memiliki
majikan. Atau oleh wanita-wanita merdeka yang belum memiliki rumah atau tidak
memiliki keluarga yang bertanggung jawab atas dirinya.
Biasanya seorang wanita duduk di rumahnya
dan membuat kesepakatan dengan beberapa orang lelaki dalam waktu yang
bersamaan. Bahwa mereka akan memberinya nafkah dan memenuhi apa yang menjadi
kebutuhannya. Sebaliknya mereka diperkenankan untuk memuaskan hajat (baca:
kebutuhan seksual) mereka kepadanya… Apabila wanita itu hamil dan melahirkan,
ia akan menulis surat kepada mereka untuk berkumpul di kediamannya. Wanita itu
berkata; “Kalian semua telah maklum terhadap apa yang telah kalian lakukan.
Saya telah melahirkan seorang anak. Dan ini adalah anakmu, wahai Fulan. Berilah
dia nama sesuai yang engkau sukai dan masukkan dalam nasabmu.”
2) Pelacuran umum, baik dari kalangan hamba sahaya maupun
wanita merdeka.
Pelacuran
model ini paling banyak terjadi pada hamba sahaya wanita dan kemungkinan juga
terjadi pada sebagian wanita merdeka. Dalam hal ini juga terdapat 2 jenis;
a) Sebagian majikan mewajibkan kepada hamba sahayanya untuk
mencari uang dalam jumlah besar, yang harus disetorkan kepadanya setiap bulan.
Tentu saja uang sebanyak itu tidak bisa dipenuhi hanya dengan bekerja secara
normal. Akhirnya mereka melacurkan diri untuk memenuhi tuntutan tuannya.
b) Sebagian Arab memajang budak wanitanya di beberapa
ruangan dan di pintunya dipasang banner agar dimaklumi oleh setiap orang yang
ingin memuaskan syawatnya. Jika ada yang menolak melakukannya, mereka akan
memukul dan menyiksanya.
Pelopor dari rumah bordil model ini adalah tokoh munafiq,
Abdullah ibn Ubay ibn Salul yang memiliki tiga hamba sahaya yang cantik-cantik.
Syeikh Muhamad
Ali as Shobuny; Pelacuran yang terjadi pada zaman kita di abad 20 ini, tidak
berbeda dengan yang dilakukan mereka di masa lalu. Bedanya, pelacuran zaman ini
berlangsung dalam lindungan undang-undang negara, dibeking oleh aparat dengan
imbalan tertentu.
Rasulullah saw bersabda;
مَا ظَهَرَتْ
الْفَاحِشَةُ فِى قَوْمٍ فَعَمِلُوْا بِهَا إِلاَّ أُصِيْبُوْا بِالأَمْرَاضِ
وَالأَوْجَاعِ الَّتِى لَمْ تَكُنْ فِى أَسْلاَفِهِمْ
“Tidaklah suatu
kekejian tampak pada suatu kaum dan mereka turut melakukannya, kecuali akan
ditimpakan kepada mereka berbagai penyakit yang tidak pernah ditimpakan pada
kaum sebelum mereka.”
Berbagai
penyakit mematikan yang muncul di kalangan para pelaku seks bebas, telah
dikemukakan oleh Rasulullah saw di masa lalu.