Renungan Islam; Bagaimana dengan Hakim yang Menerima Suap Hukumannya dalam Islam?

Suap dan korupsi merupakan perilaku yang melanggar norma, etika, dan hukum. Tindakan yang telah membawa bangsa ini berada di tepi jurang kehancuran, baik secara moral, kualitas sumber manusia, kesejahteraan, maupun martabat di hadapan bangsa-bangsa lain.

Sayangnya, perilaku ini telah menjadi bagian dari budaya sebagian besar masyarakat di Indonesia, baik dilakukan atas nama pribadi maupun institusi.

Baik terjadi di lingkungan swasta maupun birokrasi pemerintahan, dari level paling bawah hingga tingkat nasional.

Orang-orang melakukan suap untuk mendapat pekerjaan, jabatan, memenangkan tender, mendapatkan perizinan, mengurus dokumen, dan sebagainya.

Lembaga peradilan di negeri ini pun tidak lepas dari kasus suap. Banyak oknum penegak hukum yang tidak kuasa menolak godaan kemewahan. Hingga kasus hukum diperdagangkan dan pintu masuk bagi terjadinya kasus penyuapan pun terbuka sangat lebar.

Di antara oknum penegak keadilan yang kerap kali diketahui menerima suap adalah hakim. Media massa, baik media cetak, media elektronik, maupun media online kerap kali memberitakan bagaimana seorang hakim terungkap telah menerima suap atas kasus yang tengah ditanganinya.

Betapa miris kenyataan ini. Bagaimana di sebuah negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim, bahkan negera dengan penduduk muslim terbesar di dunia, kasus suap begitu marak terjadi. Seperti makanan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa di antara hakim dan pejabat yang akhirnya terungkap telah menerima suap dan diseret ke meja hijau ada yang seorang muslim.

Lantas, hakim yang menerima suap hukumnya dalam Islam bagaimana? Dalam syariat Islam, suap merupakan suatu hal yang diharamkam, bahkan termasuk dosa besar, baik bagi pemberi maupun penerimnya.

Al-Qur’an dan hadis banyak menerangkan mengenai larangan untuk menerima suap, walaupun tidak semuanya dijelaskan secara tekstual. Ada juga penjelasan mengenai larangan merima suap ini yang disampaikan secara kontekstual.



Di dalam setiap perbuatan menyuap, pelakunya selau menyimpan niat buruk, seperti mempengaruhi keputusan pihak lain sehingga tidak objektif dan independen, atau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Hingga ada pihak lain yang menjadi teraniaya atau haknya terampas.

Dalam kasus suap yang menimpa para hakim, mereka menerima suatau pemberian dengan imbalan berupa pemenangan pihak tertentu atas suatu perkara yang ditanganinya, membebaskan dari tuduhan dan hukuman, atau meringankan hukuman hingga tidak sepadan dengan kesalahan yang telah diperbuat.

Kasus suap yang melibatkan hakim ini sungguh mampu menghancurkan hati para pencari keadilan hingga sehancur-hancurnya. Betapa tidak, di tangan hakimlah mestinya keadilan ditegakkan.

Hingga kedudukan semua orang yang sama di depan hukum tidak sekadar menjadi ungkapan manis belaka. Namun, kenyataan indah yang dapat dirasakan oleh siapa saja. Namun, faktanya tidak seperti itu.

Para hakim yang semestinya melindungi hukum agar berdiri tegak di wilayah keadilan, sebagian di antara mereka justru telah mencederai hukum yang dipercayakan ke tangan mereka. Hingga tatanan masyarakat menjadi rusak dan moralitas terus mengalami degadasi dari waktu ke waktu.

Hakim yang menerima suap hukumnya di dalam Islam jelas haram, begitu juga dengan pemberi suap. Maka, tidak ada balasan lain untuk siapa saja yang telah memakan harta haram atau melakukan perbuatan haram selain dosa. Apalagi, suap termasuk kategori dosa besar.

Tentu, untuk perbuatan dosa besar, balasan berupa siksa yang pedih layak mereka terima. Kadang, balasan ini bahkan tidak harus menunggu hingga kehidupan akhirat.

Di dunia pun azab itu telah datang dalam bentuk aib yang terbuka, kehormatan yang hilang, dan harta yang terkuras. Jika azab dunia saja begitu memedihkan, bagaimana dengan siksa akhirat. Adakah orang yang sanggup menanggungnya?


Baca juga: Al Mahfudzat kelas 2 KMI Darussalam Gontor; dilengkapi penjelasan dan terjemah; Mulia Dengan Adab


Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama